Sabtu, 10 Desember 2011

Keistimewaan Berwudhu (Psikoterapi Wudhu)

Wudhu seperti yang kita ketahui merupakan cara untuk menghilangkan hadas kecil. Wudhu dilakukan ketika akan melaksanakan shalat dan ibadah-ibadah lain. Yang menjadikan wudhu sebagai syaratnya, sehingga shalat dan ibadah-ibadah lain itu menjadi tidak sah, jika pelakunya tidak dalam keadaan suci (berwudhu).
Para ahli fikih mengartikan wudhu sebagai pekerjaan menggunakan air yang dibasuhkan pada anggota-anggota badan tertentu yang diawali dengan niat disertai cara yang khusus. Terkait dengan tata cara berwudhu, Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” (QS Al-Maidah [5]: 6).
Cara khusus tersebut meliputi syarat, sesuatu yang membatalkan, sunnah, dan cara berwudhu. Cara khusus ini menjelaskan akan pentingnya wudhu dilihat dari segi lahiriah supaya wudhunya menjadi sempurna dan tidak meninggalkan sedikit pun faktor-faktor yang menjadi wudhu sah.
Wudhu juga menjadi pelebur setiap dosa-dosa yang dilakukan oleh umat muslim. Pada setiap basuhan terkandung doa-doa yang dapat menghilangkan dosa kecil. Hal ini telah dijelaskan dalam sabda Rasulullah Saw, “Ketika seorang muslim sedang berwudhu dan membasuh wajah, maka keluarlah setiap dosa-dosa yang dibuat oleh kedua matanya dari wajahnya bersama tetesan air yang jatuh.
Saat ia membasuh kedua tangan, maka keluarlah setiap dosa-dosa yang dilakukan kedua tangannya bersama dengan tetesan air yang terakhir. Saat membasuh kedua kakinya bersama tetesan air sehingga ia terbebas dari dosa-dosa sehabis berwudhu.”
Dibalik semua hal di atas, wudhu ternyata memiliki banyak manfaat bagi kejiwaan seseorang. Wudhu memiliki efek penyegaran, membersihkan badan dan memulihan tenaga. Wudhu tidak hanya membersihkan tubuh dari kotoran, tetapi juga membersihkan jiwa dari kotoran. Wudhu juga memiliki dampak fisiologis, seperti tubuh lebih rileks. Hal ini terbukti bahwa dibasuhnya tubuh dengan air sebanyak lima kali sehari akan membantu dalam mengistirahatkan organ-organ tubuh dan meredakan ketegangan fisik, juga menetralkan kondisi psikologis yang tidak stabil.
Terkait manfaat wudhu pada sisi psikologis seseorang, Rasulullah Saw bersabda, “Marah itu sebagian dari perilaku setan dan setan itu tercipta dari api. Api akan padam dengan air, bila kalian marah maka berwudhulah!” Marah adalah suatu reaksi emosional akut yang ditimbulkan oleh suatu rangsangan dari luar atau dalam diri seseorang, yang disertai dengan perasaan tidak suka yang sangat kuat. Berdasarkan hadis di atas, orang yang sedang marah sangat dianjurkan untuk berwudhu agar marahnya menjadi reda.
Wudhu juga merupakan sebuah terapi dengan menggunakan air. Dalam dunia kedokteran, terapi air telah lama dikenal. Simon Baruch (1840-1921) seorang dokter dari Amerika telah menciptakan sebuah teori yang dikenal dengan hukum Barunch. Teori ini menjelaskan bahwa air memiliki daya penenang jika suhu air sama dengan suhu kulit, sedangkan bila suhu air lebih tinggi atau rendah, maka ia akan memberikan efek stimulasi atau merangsang saraf. Pengobatan air atau hidroterapi memiliki beberapa manfaat dan efek, yang akan disebutkan sebagai berikut:
1. Berendam atau menyeka tubuh dengan air dingin akan memberikan efek mendinginkan dan merangsang saraf tubuh atau bagian tubuh. Sebab, air dingin akan mengerutkan kapiler.
2. Menyeka dengan air dingin dan air hangat secara bergantian akan merangsang sistem kardiovaskuler.
3. Berendam dalam air atau mandi di pancuran yang hangat akan berkhasiat melemaskan semua otot tubuh.
4. Mandi air hangat akan melemaskan jaringan dan berefek pada kapiler-kapiler di kulit. Hal ini karena banyak darah dari jaringan yang akan ditarik ke kulit. Di samping itu, air hangat juga dapat mengurangi rasa nyeri.
5. Berendam dan mandi air hangat dalam waktu pendek berkhasiat menghilangkan rasa lelah dan menghilangkan ketegangan.
6. Mandi dan menyeka dengan air dingin atau air hangat akan menjinakkan saraf kulit dan saraf organ-organ intern. Saat ini banyak orang menggunakan air sebagai terapi untuk mempengaruhi kejiwaan seseorang, terbukti dengan banyaknya pusat kebugaran yang menggunakan efek air.
Sedangkan menurut Emoto, seorang ahli dari Yokohama, menyebutkan bahwa air memiliki rahasia tersendiri. Air mampu menerima ungkapan manusia baik positif maupun negatif dan kemudian ia membentuk sebuah kristal seperti bunga yang merekah indah, atau potongan permata. Bentuk yang indah tadi tampak di mikroskop. Setelah melalui proses “pendinginan” air lalu diberikan kata-kata atau ungkapan yang positif. Namun, bila kata-kata atau ungkapan yang diberikan itu berupa kalimat negatif, maka air tidak dapat menampakkan keindahannya.
Menurutnya, air juga dapat merespons beraneka ragam bahasa dunia, seperti bahasa Inggris, Perancis, Arab, Cina, Korea, Jerman, Itali, dan lainnya. Air juga sensitif terhadap suatu bentuk energi yang sulit dilihat, ini disebut Hado. Bentuk energi yang sulit dilihat inilah yang dapat mempengaruhi kualitas air dan kristal air yang terbentuk. Semua benda yang ada di dunia ini memiliki gelombang Hado. Energi ini bisa berbentuk positif dan negatif, dan mudah dipindahkan dari satu benda ke benda lainnya.
Penelitian Emoto membuktikan bahwa Hado dapat mengubah air. Apabila kita berbicara kepada air dengan sikap positif dan penuh penghargaan, maka air pasti akan berubah. Bahkan, air dalam danau yang besar pun bisa berubah, dan air dalam tubuh manusia juga bisa berubah.
Dibalik kesederhanaan cara berwudhu tersimpan keistimewaan yang sangat bermanfaat bagi keadaan lahiriah dan bathiniah kita. Wudhu menjadikan kita terbebas dari segala kotoran, baik kotoran lahir maupun bathin. Dengan berwudhu membantu emosi kita yang sedang tidak segar menjadi segar kembali. Dengan berwudhu menjadikan kita lebih bersyukur atas air yang digunakan untuk wudhu tersebut karena air pun memiliki manfaat dan keistimewaan yang sangat luar biasa.

Sumber:
Hisham Thalbah. 2008. Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadis 4. Bekasi: Sapta Sentosa

Sabtu, 03 Desember 2011

IDP Jangan Sedih

ku tak berusaha sadarkanmu
bahwa hanyalah diriku
yang paling mencintaimu
sampai nanti

tapi tak pernah kamu mengerti
tetap kamu ingin putus
untuk lebih memilihnya
daripada kamu memilih ku selama hidupmu

jangan sedih bila aku nanti
dapatkan kekasih yang lain
yang lebih sempurna dibanding kamu
yang pasti ku lupa

sungguh kamu pasti menyesali
keputusanmu saat ini
tuk meninggalkanku, melepaskanku
yang tak mungkin lagi kembali

tapi tak pernah kamu mengerti
tetap kamu ingin putus
untuk lebih memilihnya
daripada kamu memilih ku selama hidupmu

Source: http://liriklaguindonesia.net/indah-dewi-pertiwi-jangan-sedih.htm#ixzz1fXg8uUr0

Sabtu, 26 November 2011

Psikologi dalam Meningkatkan Motif dan Motivasi Individu (klien)



Psikologi merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Landasan psikologi dalam bimbingan dan konseling berarti memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Hal ini sangat penting karena bidang garapan bimbingan dan konseling adalah tingkah laku klien, yaitu tingkah laku klien yang perlu diubah atau dikembangkan apabila ia hendak mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya atau ingin mencapai tujuan-tujuan yang dikehendakinya.
Secara sederhana dapat diberi batasan bahwa tingkah laku adalah gerak-hidup individu yang dapat dirumuskan dalam bentuk kata kerja. Jenis dan jumlah tingkah laku manusia terus berkembang sesuai perkembangan budaya mereka. Suatu tingkah laku merupakan perwujudan dari hasil interaksi antara keadaan interen individu dan keadaan eksteren lingkungan.
Latar belakang psikologis, berhubungan dengan hakikat siswa sebagai pribadi yang unik, dinamik dan berkembang, dalam upaya mencapai perwujudan diri. Secara psikologis setiap siswa memerlukan adanya layanan yang bertitik tolak dari kondisi keunikan masing-masing.
Psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk keperluan bimbingan dan konseling sejumlah daerah kajian dalam bidang psikologi perlu dikuasai, yaitu tentang :
1. Motiv dan motivasi
2. Pembawaan dasar dan lingkungan
3. Perkembangan individu
4. Belajar, balikan dan penguatan
5. Kepribadian
A. Psikologi dalam Meningkatkan Motif dan Motivasi Individu (klien)
Motif adalah dorongan yang menggerakan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini hidup pada diri seseorang dan setiap kali mengusik serta menggerakan orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang terkandung di dalam dorongan itu sendiri. Dengan demikian, suatu tingkah laku yang didasarkan pada motif tertentu tidaklah bersifat sembarangan atau acak, melainkan mengandung isi atau tema sesuai dengan motif yang mendasarinya.
Para ahli umumnya sepakat akan adanya dua penggolongan motif, yaitu motif yang bersifat primer dan yang bersifat sekunder. Motif primer didasari oleh kebutuhan asli yang sejak semula telah ada pada diri setiap individu sejak ia terlahir ke dunia, seperti kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar dan haus serta kebutuhan akan udara bersih. Kebutuhan-kebutuhan tersebut secara mendasar harus terpenuhi, sebab kalau tidak, tantangannya adalah maut. Motif primer itu ada pada setiap orang atau sering kali pemenuhannya tidak dapat ditunda-tunda.
Apabila motif primer melekat pada diri individu sejak awal keberadaan individu tersebut, motif sekunder tidak demikian. Motif sekunder tidak dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk bersamaan dengan proses perkembangan individu yang bersangkutan. Motif sekunder ini berkembang berkat adanya usaha belajar. Karena belajar individu terdorong untuk melakukan berbagai hal, seperti berpakaian, melukis, bereaksi, melakukan penelitian, menyimpan uang di bank, mengumpulkan benda-benda antik, berjualan, merangkai bunga, memakai dasi, dan lain sebagainya. Dibanding dengan motif primer yang jenis dan jumlahnya dapat dihitung dengan jari itu, jenis dan jumlah motif sekunder boleh dikatakan tidak terhitung dan cenderung terus berkembang sesuai dengan berkembangnya peradaban manusia. Makin tinggi peradaban sekelompok manusia makin beranekaragamlah motif-motif sekunder yang ada dikalangan kelompok manusia itu, sedangkan motif-motif primernya tetap, yaitu makan, minum, dan bernafas. Keterkaitan antara motif primer dan sekunder bahwa sering kali motif-motif sekunder berkembang justru untuk terpenuhinya dengan lebih baik motif-motif primer.
Motif yang telah berkembang pada diri individu merupakan sesuatu yang laten pada diri individu itu, yang sewaktu-waktu dapat diaktifkan mendorong terwujudnya suatu tingkah laku. Motif yang sedang aktif, biasa disebut motivasi, kekuatannya dapat meningkat, sampai pada taraf yang amat tinggi. Oleh karena itu sering kita jumpai ada orang yang motivasinya rendah atau tinggi, atau ada orang yang amat bersemangat melaksanakan suatu tindakan (tingkah laku), atau bahkan menggebu-gebu, sebaliknya ada yang semangatnya rendah atau kendur. Semuanya itu menggambarkan kuat-lemahnya motif yang sedang aktif mendorong tingkah laku yang dimaksudkan.
Motivasi erat sekali hubungannya dengan perhatian. Tingkah laku yang didasari oleh motif tertentu biasanya terarah pada suatu objek yang sesuai dengan isi atau tema kandungan motifnya. Berkenaan dengan kaitan antara motif dan objek tingkah laku, dikenal adanya motif yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Motif intrinsik dapat ditemui apabila isi atau tema pokok tingkah laku bersesuai dengan atau berada di dalam isi atau tema-tema pokok objek tingkah laku itu. Sedangkan motif ekstrinsik dapat dijumpai apabila isi atau tema pokok tingkah laku tidak bersesuaian atau berada di luar isi atau tema pokok objeknya. Dalam motif ekstrinsik, objek tingkah laku seolah-olah hanya menjadi sekedar jembatan atau perantara bagi terjangkaunya isi atau tema pokok yang lain di luar isi atau tema pokok objek langsung tingkah laku tersebut.
Di samping adanya motif intrinsik dan ekstrinsik, dalam kenyataan di masyarakat berkembang motif dengan sifat yang berbeda. Misalnya, seorang ibu memberi makan seorang pengemis yang kelaparan. Motif intrinsiknya ialah agar pengemis itu terbebas dari rasa laparnya, sedangkan motif ekstrinsik (mungkin itu ada pada diri si pemberi makan) ingin agar dirinya (si pemberi makan itu) dinggap sebagai dermawan yang pemurah dan baik hati.
Ada motif lain yang dapat dikembangkan di balik tingkah laku seseorang. Selain motif intrinsik dengan ekstrinsik sebagaimana dijelaskan tersebut, pada perbuatan memberi makan pengemis dapat dikembangkan motif menolong sesama manusia yang menderita. Di kalangan orang-orang yang iman dan ketakwannya tinggi kepada Tuhan yang Maha Esa, berkembang kesadaran bahwa semua perbuatan hendaknya didasari oleh keimanan dan ketakwaan. Semua perbuatan hendaklah diniati untuk ibadah, yaitu sebesar-besarnya melaksanakan perintah dan menghindari larangan Tuhan. Setiap perbuatan sekecil apapun perbuatan itu, hendaknya dilandasi motif beribadah. Dalam prakteknya sehari-hari, motif beribadah itu diwujudkan dalam doa yang diucapkan sebelum sesorang melakukan sesuatu agar perbuatannya itu diterima dan diridai oleh Tuhan. Kekuatan motivasi beribadah itu akan semakin terasa bagi orang yang bersangkutan apabila ia benar-benar menghayati dan menginternalisasi makna doa itu.
B. Psikologi dalam Memahami Pembawaan dan Lingkungan setiap Individu
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa kondisi mental fisik tertentu. Apa yang dibawa sejak lahir itu sering disebut pembawaan. Dalam artinya yang luas pembawaan meliputi berbagai hal, seperti warna kulit, bentuk dan warna rambut, golongan darah, kecenderungan pertumbuhan fisik, minat, bakat khusus, kecerdasan, kecenderungan ciri-ciri kepribadian tertentu. Kerentanan terhadap penyakit tertentu sering kali juga dikaitkan dengan pembawaan. Pembawaan itu diturunkan melalui pembawa sifat yang terbentuk segera setelah sel telur dari ibu bersatu dengan sel sperma dari ayah pada saat konsepsi.
Kondisi yang menjadi pembawaan itu selanjutnya akan terus tumbuh dan berkembang. Namun pertumbuhan dan perkembangan itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Untuk dapat tumbuh dan berkembangnya apa-apa yang dibawa sejak lahir itu, diperlukan prasarana dan sarana yang semuanya berada dalam lingkungan individu yang bersangkutan. Prasarana dan sarana itu dapat berupa makanan, perlengkapan pendorong dan pemelihara kesehatan, sentuhan sosio-emosional, kelengkapan belajar dan latihan, serta suasana yang memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan dan perkembangan itu. Optimalisasi hasil pertumbuhan dan perkembangan isi pembawaan itu amat tergantung pada tersedia dan dinamika prasarana serta sarana yang ada di lingkungan itu.
Kadang-kadang masih terdengar juga perdebatan tentang peranan pembawaan dan lingkungan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu. Mana yang lebih dominan peranannya, pembawaan atau lingkungan? Penelitian dalam bidang psikologi pada dasarnya menunjukkan bahwa di antara kedua fakta itu (pembawaan dan lingkungan) yang satu tidak mendominasi yang lain (Sutton-Smith, 1979). Sejak dari rahim ibu sampai dengan usianya yang lebih lanjut, seorang makhluk manusia, dalam proses pertumbuhan dan perkembangan setiap saat membutuhkan unsur-unsur yang ada dalam pembawaanya dan lingkungannya. Penelitian Jensen misalnya (dalam Sutton-Smith, 1973) menegaskan bahwa faktor yang menentukan tinggi-rendahnya intelegensi seseorang adalah interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Dalam kaitan itu pada umumnya tidak dapat diketahui kondisi pembawaan yang asli (yaitu pembawaan yang sama sekali belum dipengaruhi oleh lingkungan). Apa yang dapat diketahui ialah hasil interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Demikian juga untuk pertumbuhan fisik, bakat, minat, dan ciri-ciri kepribadian.
Pembawaan dan lingkungan masing-masing individu tidaklah sama. Ada pembawaan yang tinggi, sedang, kurang, dan bahkan kurang sekali. Kadang-kadang kita jumpai individu dengan intelegensi yang amat tinggi (jenius). Bakat yang amat istimewa atau pembawaan yang luar biasa bagusnya itu merupakan anugerah dari Tuhan. Sebaliknya kadang-kadang kita jumpai individu dengan intelegensi yang amat rendah. Pembawaan yang luar biasa indahnya itu juga merupakan amanah dari Tuhan, untuk tidak disia-siakan dan untuk mendapatkan penanganan yang memadai sesuai dengan kemuliaan kemanusiaan.
Demikian juga lingkungan. Ada individu dan lingkungannya sangat baik, ada yang sedang-sedang saja, dan ada pula yang lingkungannya berkekurangan. Keadaan yang ideal adalah apabila seseorang memiliki sekaligus pembawaan dan lingkungan yang bagus. Lingkungan seperti itu dapat amat menunjang pengembangan bakat yang tinggi, sehingga hasilnya dapat diharapkan sangat tinggi pula. Tinggal dua hal yang perlu diperhatikan bagi pengembangan individu yang beruntung itu, yaitu terjaganya kondisi lingkungan yang dinamis-positif dan tingginya motivasi individu untuk memperkembangkan diri.
Keadaan yang kurang menguntungkan ialah apabila salah satu dari dua faktor pembawaan dan lingkungan kurang baik. Pembawaannya cukup baik tetapi lingkungannya kurang menunjang, dan sebaliknya, lingkungan memuaskan tetapi pembawaannya rendah. Tetapi keadaan yang seperti itu masih lebih baik dibandingkan kalau kedua faktor lemah, pembawaan tidak dapat diharapkan dan lingkungannya pun mengecewakan. Keadaan pembawaan dan lingkungan seorang individu dapat diketahui melalui penerapan instrumensi konseling (baik tes maupun non tes) yang dipergunakan oleh konselor. Pemahaman tentang faktor-faktor pembawaan itu perlu mendapat perhatian utama. Lebih dari itu, konselor perlu menyikapi kondisi pembawaan dan lingkungan sarana layanannya secara dinamis. Artinya, konselor memandang apa-apa yang terdapat di dalam pembawaan sebagai modal atau aset yang harus ditumbuh-kembangkan secara optimal. Modal yang dibawa sejak lahir itu (betapapun kecil atau rendahnya modal itu) bukanlah barang mati atau boleh dibiarkan begitu saja, melainkan sesuatu yang menuntut pengolahan sekuat-kuatnya bagi pemiliknya dan orang lain. Penumbuh-kembangan atau pengolahan pembawaan itu adalah melalui lingkungan. Oleh karena itu lingkungan perlu setiap kali ditata dan diperbagus sesuai dengan tuntunan yang wajar bagi penumbuh-kembangan pembawaan itu. Justru menjadi pokok konselorlah untuk memahami sebesar apa modal yang dimiliki oleh klien dan mengupayakan pengaturan lingkungan bagi pengembangan modal itu sambil meningkatkan motivasi klien untuk berbuat searah dengan penumbuh-kembangan modalnya itu.
C. Psikologi dalam Meningkatkan kegiatan Belajar Individu, Memberikan Balikan, dan Penguatan
Belajar merupakan suatu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Peristiwa belajar terentang dari bentuk-bentuk belajar yang ditandai oleh perubahan tingkah laku yang amat sederhana sebagai hasil latihan singkat sampai dengan proses mental tingkat tinggi. Topik tentang belajar menjadi materi dasar dan pokok dari pembahasan psikologi, bahkan menjadi inti dalam paparan tentang persepsi dan berpikir; kemampuan dan imajinasi, beragumentasi, dan menilai/mempertimbangkan; sikap, ciri-ciri kepribadian, dan sistem nilai; serta perkembangan dan organisasi kegiatan yang membentuk kepribadian individu (Marx & Bunch, 1997).
Adalah wajar bahwa belajar mendominasi materi psikologi, karena belajar merupakan salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Hanya manusialah makhluk yang belajar. Sejak seorang manusia dilahirkan ia terus menerus belajar: belajar makan, belajar berbicara, berjalan, berkelahi, bersopan-santun, beribadah, mengendalikan diri, mengelabui orang lain, memecahkan masalah, menyenangkan orang lain, menjinakkan kuda, dan sebagainya. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan mampu mempertahankan dan mengembangkan dirinya; dan dengan belajar itulah manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya.
Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan apa yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan sesuatu yang baru itulah tujuan belajar, dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan. Pertama, bahwa terjadinya perubahan dan/atau tercapainya sesuatu yang baru pada diri individu itu tidak berlangsung dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan. Dengan kata lain, pencapaian sesuatu yang baru itu merupakan hasil usaha. Apabila suatu perubahan atau sesuatu yang baru terjadi pada diri individu, tetapi berlangsungnya perubahan itu tanpa disengaja atau diupayakan, maka perubahan atau sesuatu yang baru itu bukanlah hasil belajar, melainkan suatu yang berlangsung secara kebetulan atau hasil pertumbuhan/perkembangan yang berupa kematangan.
Kedua, bahwa proses belajar tidak terjadi di dalam kekosongan, melainkan untuk terjadinya proses belajar diperlukan semacam ”prasyarat”, apabila prasyarat itu belum ada maka mustahillah terjadi proses belajar. Prasyarat tersebut dapat berupa hasil kematangan ataupun hasil belajar yang terdahulu. Agar seorang anak dapat mulai belajar berjalan, maka tulang dan otot-otot anak itu terlebih dahulu harus cukup kuat menopang barat badannya. Belajar berbicara pada anak-anak harus didahului dengan kesiapan organ-organ bicara pada anak itu. Kekuatan tulang dan otot serta kesiapan organ-organ bicara itu merupakan kematangan fisik yang merupakan prasyarat bagi upaya belajar pada anak. Lebih jauh, apabila seorang anak hendak belajar berhitung, terlebih dahulu ia harus memahami konsep tentang angka sebagai prasyarat belajar berhitung itu; untuk belajar suatu rumus matematika harus terlebih dahulu memahami rumus-rumus yang lebih rendah yang mendasarinya; untuk belajar berdagang yang paling awal harus dikuasai konsep-konsep tentang uang, modal, komoditi, untung dan rugi; untuk belajar filsafat harus terlebih dahulu mampu berpikir dan berbahasa secara lurus dan benar, untuk belajar keterampilan yang lebih tinggi seperti gerak-gerak psikomotorik, olah raga, latihan bela diri diperlukan keterampilan-keterampilan yang mendahuluinya; dan sebagainya. Demikianlah prasyarat-prasyarat mental-fisik, baik berupa kematangan maupun hasil belajar diperlukan bagi berlangsungnya upaya belajar sebagaimana diharapkan.
Ketiga, hasil belajar yang diharapkan adalah sesuatu yang baru, baik dalam kawasan kognitif, afektif, konotatif, maupun psikomotoris/keterampilan. Hasil yang merupakan sesuatu yang baru akan memberikan nilai tambah bagi individu yang belajar. Sesudah seseorang belajar secara berhasil, maka ia memperoleh sesuatu yang menjadikan dirinya lebih maju, lebih berkembang, lebih kaya dari pada keadaan sebelum belajar. Dalam kaitan itu, dipertanyakan tentang upaya mengulang pelajaran. Kegiatan mengulang pelajaran kembali bahan lama yang pernah dipelajarinya. Bagaimanakah hasilnya? Adakah sesuatu yang baru didapat oleh orang itu? Kalau tidak, artinya hasilnya persis sama saja dengan apa yang telah diketahui/dipahami/dicapai sebelumnya, maka kegiatan mengulang pelajaran itu sebenarnya percuma saja, membuang-buang waktu, tenaga dan kesempatan belaka. Orang yang mengulang pelajaran dengan hasil seperti itu dapat dikatakan tidak belajar. Ia tidak memperoleh sesuatu yang baru; nilai tambah dari kegiatannya itu tidak diperdapatnya. Sebaliknya, apabila dengan mengulang pelajaran itu ia teringat kembali hal-hal yang telah terlupakan dari materi yang pernah dipelajarinya itu, memahami secara lebih mantap, lebih mampu mengembangkan, dan memperoleh nilai-nilai tambah lainnya berkenaan dengan materi-materi lama yang dipelajari kembali itu, jelaslah kegiatan mengulang pelajaran seperti itu dapat disebut belajar.
Keempat, kegiatan belajar sering kali memerlukan sejumlah sarana, baik berupa peralatan maupun suasana hati dan hubungan sosio-emosional. Sarana peralatan dapat berbentuk buku, alat-alat latihan, alat-alat peraga, peralatan elektronik, peralatan komunikasi, dan berbagai alat bantu belajar lainnya. Ketersediaan dan pemanfaatan yang optimal dari berbagai sarana tersebut akan lebih memungkinkan tercapainya hasil belajar yang optimal pula. Suasana hati dan hubungan emosional yang kondusif, yang artinya cukup mengenakkan sehingga di suatu segi tidak ada hal-hal yang menghambat dan di segi lain justru mendorong berlangsungnya perbuatan belajar, akan lebih memungkinkan lagi tercapainya hasil belajar yang diimpikan. Suasana hati dan hubungan sosio-emosional itu terkait langsung dengan persepsi dan reaksi-reaksi individu yang belajar terhadap lingkungannya dan terhadap hubungan-hubungan antar orang yang ada di lingkungan. Suasana hati yang resah dan gelisah serta hubungan sosio-emosional yang tidak aman dan saling menekan akan memberikan dampak negatif terhadap berlangsungnya kegiatan belajar; sebaliknya suasana hati yang nyaman dan tentram disertai kedamaian dan saling sokong menyokong di antara orang-orang yang ada di lingkungan akan memberikan tunjungan yang positif.
Keadaan sebagaimana tersebut pada butir keempat sangat erat kaitannya dengan motivasi individu untuk melaksanakan kegiatan belajr, baik motivasi intrinsik, ekstrinsik, maupun ibadah. Sarana yang memadai serta suasana hati dan hubungan sosio-emosionl yang kondusif akan lebih memungkinkan berkembangnya motivasi intrinsik dalam belajar. Pada tingkatannya yang lebih tinggi motivasi dapat menyertai kegiatan belajar dalam suasana penuh hasrat untuk mencapai niai tambah yang sebesar-besarnya.
Kelima, hasil yang diperoleh dari kegiatan belajar hendaknya dapat diketahui dan diukur, baik oleh individu yang belajar maupun oleh orang lain. Pengetahuan tentang hasil belajar baik yang diketahui sendiri maupun yang berasal dari orang lain merupakan balikan atau feedback bagi individu yang belajar, terutama tentang sampai berapa jauh kesuksesannya dalam upaya belajar itu. Lebih jauh, bertolak dari keadaan hasil belajar yang dicapainya itu individu yang bersangkutan dapat mengkaji proses belajar yang telah dijalaninya misalnya tentang dimana letak kekuatan dan kelemahannya, hal-hal yang menunjang dan menghambat dan upaya tindak lanjut apa yang perlu dilaksanakan. Adanya balikan seperti itu amat dipelukan oleh individu yang belajar agar ia dapat mengadakan perhitungan tentang upaya belajar yang dilaksanakannya itu dan hasil-hasilnya serta upaya kelanjutannya.
Keenam, upaya belajar merupakan upaya yang berkesinambungan. Bahkan dikatakan bahwa kehidupan manusi sepanjang hayatnya, terutama kehidupan yang normal – dinamis – produktif, dipenuhi oleh upaya belajar. Kegiatan belajar tidak terbatas oleh waktu, tempat, keadaan, dan objek yang dipelajari, ataupun oleh usia. Upaya belajar dikehendaki berlangsung terus-menerus, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan individu yang bersangkutan. Untuk keperluan itu, individu memerlukan penguatan. Dengan penguatan individu terdorong untuk setiap kali mengulangi lagi perbuatan belajarnya. Apabila penguatan itu sering dilakukan, besar kemungkinan individu yang diberi penguatan itu akan melanjutkan, atau bahkan meningkatkan upaya belajarnya, sampai ia memiliki kebiasaan belajar yang baik.
Pemberian penguatan dilakukan memakai pernyataan berkenaan dengan hal-hal yang positif yang ada pada diri individu, khususnya bekenaan dengan kegiatan belajarnya itu; misalnya pernyataan tentang motivasi belajarnya cukup tinggi, hasil belajarnya bagus, caranya menjawab soal-soal cermat, bahasanya lancar, pekerjaannya rapi, dan sebagainya. Pernyataan positif seperti itu diharapkan mendorong tumbuhnya rasa puas, rasa diri mampu bekerja dan mampu mencapai nilai tambah serta menghasilkan sesuatu yang berguna, sehingga ia terdorong untuk mengulangi kegiatan yang menghasilkan dampak positif itu. Apabila hal itu terjadi maka upaya pemberian penguatan menampakkan hasilnya.
Berbagai model belajar telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain model belajar yang didasarkan pada teori pembiasaan dan keterpaduan (conditioning dan connectionisme theories), teori gestalt (gestalt theories), teori perkembangan kognisi (information processing theories), proses peniruan (social learning theory). Teori-teori itu perlu dikenal oleh konselor dan dipahami berbagai kemungkinan penerapannya bagi pengembangan kegiatan belajar klien. Model-model konseling pada umumnya telah memadukan ke dalam masing-masing model itu teori belajar tertentu dari model konseling yang dimaksudkan.
Pada umumnya sekolah formal di Indonesia tidak di pimpin dengan latar belakang pendidikan psikologi, tetapi tidak berarti mereka tidak belajar pengetahuan yang terkait dengan pendidikan psikologi.
Yang menjadi masalah kita bahwa dalam pendayagunaan sumber daya manusia dalam komunitas pendidikan, dimana beban kerja bukanlah sesuatu kegiatan yang menyenangkan dalam menghadapi beragam sikap dan perilaku anak didik, oleh karena itu diperlukan seorang psikolog yang dapat bertindak sebagai konsultan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan bimbingan konseling.
Dari pengalaman menunjukkan pula situasi dimana menjadi masalah bagi pendidik dengan adanya jurang kesenjangan antara beban kerja dengan hasil kerja yang mendorong pentingnya keberadaan seorang psikolog sebagai penasehat dalam hal :
1. Realita yang menunjukkan pendapatan dari seorang pendidik yang tidak sebanding dengan beban tanggung jawab atas menumbuh kembangkan kemampuan anak didik menemukan tentang jati dirinya ;
2. Seharusnya ada dorong dari kepemimpinan puncak sekolah untuk memikirkan masalah-masalah anak didik dengan bantuan tenaga ahli dalam psikologi ;
3. Realita juga menggambarkan ketidakpastian karir masa depan dalam komunitas pendidikan yang berdampak menjadi tidak bahagia dalam kehidupan.
Bertolak dari dari gambaran singkat diatas, seorang pemimpin dalam komunitas pendidikan untuk mencapai keberhasilannya dalam meningkatkan kebiasaan anak didik yang produktif, maka harus ada keberanian pimpinan puncak sekolah untuk menarik seorang yang ahli dalam bidang psikologi untuk membantu dalam menjalankan peran pendidik dalam kaitan dengan kerjanya, karena yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menjalankan konseling dan menjadi seorang konselor.
Yang perlu diingat bahwa setiap pendidik harus mampu menjalankan pekerjaan konseling walaupun ia bukan ahli psikologi karena keterampilan dalam bidang ini dimana setiap orang mampu meningkatkannya sepanjang yang bersangkutan mau meningkatkan pemanfaatan pikiran untuk tumbuh dan berkembang sehingga ia terus berusaha untuk ingin tahu dari yang tidak tahu dengan meningkatkan kebiasaan yang produktif dalam usaha menjadi konselor non-profesional, yang setiap waktu ia mampu melibatkan diri dalam mnghadapi masalah anak didik.

Sabtu, 19 November 2011

Kematian Sel yang Terprogram dalam Tinjauan Alquran dan Ilmiah


Kematian sel selalu ada di dalam setiap insan. Penyakit yang menyebabkan kematian juga merupakan bentuk program dan informasi yang ada dalam sel. Ia bertanggung jawab atas kematian sel-sel itu. Dengan kata lain, kita sebetulnya bisa mengganti dan memperbaiki program ini saat ia tidak dipakai, atau memberinya celah apa pun. Ini bisa dilakukan saat memberi pengaruh pada sel dengan inforamsi lain yang mampu berinteraksi dengan program ini. Selanjutnya dengan izin Allah, kesembuhan pun akan diperoleh.
Setelah melakukan penelitian yang panjang dan melelahkan, para ahli berhasil mengungkap bahwa program kematian sel diciptakan oleh sel itu sendiri.
Seandainya program ini tidak ada, kehidupan di dunia ini tidak akan terus berlangsung. Para ahli juga menegaskan bahwa program khusus untuk kehidupan sel itu penting. Program khusus untuk kematian sel jauh lebih penting lagi. Mengapa? Karena, proses kematian yang mengorganisasikan sel yang bergerak sesuai program ini sangat rumit.
Proses inilah yang memungkinkan tubuh bisa melepaskan diri dari sel-sel yang mengalami kerusakan apa pun, di samping memungkinkan tubuh membuang sel-sel yang berlebih dan tidak penting.
Oleh karena itu, program kematian dan program kehidupan bekerja sama secara bersamaan dalam tubuh manusia dan benda hidup lainnya.
Hebatnya kematian sel yang diprogram, memainkan peranan penting dalam sistem kekebalan tubuh. Andai saja tidak ada program kematian sel, tentu tubuh tidak mampu melawan penyakit. Bahkan, program ini menguasai proses perlindungan tubuh saat terkena peradangan yang bermacam-macam, sehingga tubuh bisa melepaskan sel-sel kosong, juga sel-sel yang jika masih hidup, akan mengantarkan kematian manusia.
Ia juga bertugas untuk menggerakan sel-sel yang bertanggung jawab untuk melawan virus dan bakteri berbahaya. Jadi, program ini tidak kalah penting dari program yang telah dipersiapkan Allah pada sel dan sesuatu yang bertanggung jawab untuk kehidupan sel itu.
Kita mungkin bisa menyimpulkan dari penemuan ilmiah ini bahwa kematian itu sama-sama makhluk seperti juga kehidupan.
Bila kematian tidak ada, maka kehidupan pun juga tidak ada. Kematian tampaknya justru yang menjadi asalnya.
Oleh karenanya, kita menemukan pembicaraan seputar hal ini di dalam Alquran pada firman Allah SWT sebagai berikut:
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (QS Al-Mulk [67]:2)
Pada ayat ini, kita mendapati bagaimana Tuhan membicarakan kematian sebelum kehidupan. Dia menginformasikan kepada kita bahwa kematian juga makhluk seperti kehidupan.
Ayat ini turun pada masa ketika tidak seorang pun yang tahu sedikit pun ihwal hakikat kematian yang terprogram. Oleh karena itu, ayat ini mencerminkan keunggulan ilmiah pada Ilmu Kedokteran.
Kita bisa menyimpulkan fakta medis yang bisa kita lihat bahwa proses kematian sel yang diikuti proses kematian merupakan proses yang sistematis, terhitung, dan terukur.
Kematian itu datang membabi buta, seperti dugaan orang jahiliah sebelum Islam. Padahal, ada proses sangat luar biasa di sini, yang sangat mirip dengan program komputer.
Bahkan, para ahli memastikan bahwa program khusus untuk kematian sel, yang selanjutnya terkait kematian manusia, ada pada setiap sel tubuh. Ia dimulai pada sperma yang menjadi bahan dasar manusia.
Program kematian dimulai bersamaan dengan sel pertama yang menjadi bahan dasar manusia. Program itu mendampingi manusia hingga ia menemui ajalnya dengan sistem luar biasa yang tidak ada cela sama sekali. Oleh karenanya, Allah SWT berfirman sebagai berikut:
Terangkanlah kepadaku tentang sperma yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya? Kami telah menentukan kematian di antara kamu dan kami sekali-kali tidak akan dapat dikalahkan,” (QS Al-Waqi’ah [56]: 58-60).
Ada juga kemukjizatan pada ayat ini. Allah SWT membicarakan penciptaan manusia dari sperma. Ia menyebutnya sesuai aslinya, lalu menyebutnya bahwa Allah-lah yang menciptakan sperma itu. Allah juga yang menetapkan kematian di dalamnya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung. Dengan segala kelebihan ini, aneh bila masih ada orang yang mengingkari Alquran dan menganggapnya sebagai buku dongeng belaka.
Para ahli juga memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang bisa selamat dari kematian, karena kematian memang diciptakan bagi setiap orang. Ia disertakan pada setiap sel tubuh manusia.
Orang Arab sebelum Islam menduga bahwa mereka melarikan diri dari kematian. Alquran justru menegaskan pada mereka bahwa setiap manusia akan mati. Hanya Allah yang akan tersisa nanti. Allah SWT berfirman sebagai berikut:
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati,” (QS Ali Imran [3]: 185).
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh,” (QS An-Nisa [4]: 78).
Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu lari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan,” (QS Al-Jum’ah [62]: 8).
Alquran telah memastikan bahwa kita tidak bisa lari dari kematian, karena ia telah ada di dalam diri kita. Fakta ini ditunjukan oleh Alquran di banyak ayat ketika tidak ada satu pun orang yang bisa memastikan bahwa kematian merupakan takdir semua makhluk.
Di masa modern ini memang ada banyak usaha untuk memperpanjang umur. Namun, semuanya gagal. Ini setelah ditemukan bahwa sel akan mati, karena kematian di dalamnya.
Inilah yang diinformasikan Rasulullah Saw berikut: “Wahai para hamba Allah, bertobatlah, karena Allah selalu memberikan obat untuk semua penyakit kecuali ketuaan,” (HR Ahmad). Pertanyaannya, siapa yang menginformasikan Rasulullah Saw bahwa ketuaan itu tidak ada obatnya? Jawabannya, Allah. Dia-lah yang menciptakan kematian dan kehidupan. Dia yang menurunkan Alquran dan menyimpankan fakta-fakta itu di dalamnya, agar menjadi sarana bertambahnya keimanan dan keyakinan kita.

Sumber:
Hisham Thalbah. 2008. Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadis. Bekasi: Sapta Sentosa

Kemampuan Memori Pria dan Wanita

Terkait dengan hal ini, Allah SWT berfirman sebagai berikut:
“Persaksikanlah dengan dua orang saksi pria kalian. Jika dua orang pria tidak ada, maka (boleh) seorang pria dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu sukai. Supaya jika seorang lupa, maka seorang lagi mengingtkannya,” (QS. Al-Baqarah [2]: 282).
Ide-ide yang disampaikan sebagian musuh Islam adalah menyesatkan. Ide-ide ini tersebut terus didengungkan oleh beberapa kalangan dari mereka. Para orientalis telah mengabdikannya dalam beberapa karya. Ide-ide tersebut akhirnya diserap oleh para oksidentalis. Ide liar itu antara lain bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita. Islam menjadikan mereka setengah dari kaum pria dalam beberapa hal, misalnya soal persaksian. Islam menjadikan persaksian dua orang wanita sebanding dengan persaksian seorang pria. Untuk menolak kesalahpahaman tersebut, pertama-tama kita harus mengkaji tafsir dari ayat tersebut. Selanjutnya, kita telusuri komentar-komentar ulama yang pakar dibidangnya.
Tafsir Ayat
Pemahaman ayat tersebut berdasarkan Tafsir Al-Thabari adalah, “Supaya jika seorang lupa maka seorang lagi dapat mengingatkannya.”
Dalam Tafsir Al-Baidhawi disebutkan, “Adanya perbedaan jumlah di sini agar jika seorang sesat terhadap persaksiannya karena lupa, maka seorang lagi dapat mengingatkannya.”
Tafsir Al-Syaukani menuturkan, “Menurut Abu Ubaid, pengertian tadhilla (sesat) adalah tansa (lupa). Sesat dari persaksian tiada lain maksudnya adalah ia lupa terhadap satu materi persaksian dan mengingat materi lainnya.”
Kesimpulan dari beberapa penafsiran di atas bahwa sebab dijadikannya persaksian seorang wanita berbanding setengah dari seorang pria adalah karena alasan lupa. Pertanyaannya, apakah wanita lebih banyak lupa dibanding pria?
Berdasarkan Pengetahuan Modern
Dalam sebuah penelitian kontemporer yang diadakan oleh para cendikiawan di Sidney Australia, yang kesimpulannya disiarkan oleh jaringan televisi CNN dan BBC, disebutkan bahwa berdasarkan penelitian, kehamilan dapat mengurangi memori seorang wanita.
Penelitian tersebut menetapkan bahwa kehamilan menjadikan memori kaum wanita berkurang.
Kondisi ini kadang-kadang berlanjut hingga seusai melahirkan. Kehamilan dapat sedikit mengurangi jumlah sel memori pada otak ibu yang hamil.
Julia Henry, salah seorang peneliti wanita dari Universitas New South Wales Sidney Australia, memberikan komentarnya terhadap CNN sebagai berikut:
“Bukti yang kami peroleh menyimpulkan bahwa daya IQ wanita yang berkaitan dengan penyebutan unsur-unsur yang baru secara mendetail, atau melakukan aktivitas yang memiliki banyak tahapan, mengalami kegoncangan.
Seorang wanita yang hamil misalnya, ia lemah dalam menyebutkan nomor baru, tetapi dengan mudah ia akan mengulangi penyubatan nomor-nomor yang lama yang biasa ia pakai.”
Dengan bantuan Dr. Peter Randell. Julia Henry berhasil mengukuhkan temuannya ini berdasarkan hasil analisis dari 12 penelitian yang berhubungan dengan kadar IQ wanita sebelum dan sesudah melahirkan.
Ia mengarahkan penelitiannya pada beberapa hal yang menunjukan adanya kemungkinan bahwa wanita pada masa setahun penuh setelah melahirkan, terkadang sering mengalami kegoncangan dalam masalah IQ. Ia tidak yakin setelah masa tersebut berlalu, kegoncangan itu akan membaik, seiring dengan adanya kebutuhan dalam menambah informasi-informasi yang diperlukan.
Padahal, penelitian tersebut tidak menyinggung faktor-faktor yang menyebabkan fakta ini, karena masih mempertimbangkan adanya kebutuhan dalam menambah eksperimen ilmiah yang komprehensif. Meskipun ia mempersentasikan semua skenario dari kemungkinan yang ada, dalam pendahuluannya ia mengganti hormon-hormon tubuh yang berubah dengan cepat dalam kehidupan.
Kesimpulannya, wanita hamil akan mengalami penurunan daya IQ-nya. Saat hamil, IQ-nya labil. Terkadang lemahnya IQ seorang wanita ini berlanjut sampai setahun penuh pasca melahirkan. Mungkin juga lebih dari itu dikarenakan adanya penurunan jumlah sel memori dan faktor-faktor lainnya yang belum ditemukan sampai sekarang.
Kemukjizatan ayat di atas adalah petunjuk Allah bahwa kaum wanita sering lupa. Karena itu, Islam menjadikan persaksian mereka setengah dari persaksian kaum pria. Ketetapan itu relevan sekali dengan pengetahuan modern.

Sumber:
Hisham Thalbah. 2008. Ensiklopedia Mukjizat Alquran dan Hadis. Bekasi: Sapta Sentosa

Minggu, 06 November 2011

November Rain

Rain, rain, rain

Hujan air
Hujan kata-kata



Masuk bulan Nopember sekarang hujannya udah mulai sering,,dari pagi nyampe siang bisa jadi mendung seharian..Hujan kadang-kadang bikin jalanan ga nyaman buat di injek,apalagi pasar..
Siapa yang ga tau kalau pasar tradisional (psr Tjsari) pasti becek kalau hujan,,tapi ga tau tuh pasar tradisional yg laen hehhh..
Walaupun perbaikan udah sering dilakuin tetep aja becek hehhh,,mungkin kalau ga becek bukan pasar kali ya?!hehhh
Nikmatin aja becek-becek di pasar...

Jumat, 04 November 2011

Hubungan Akhlak dengan Ilmu Tasawuf, Kalam, Filsafat, dan Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

A.
       Latar Belakang
Suatu ilmu tak akan bisa berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan ilmu yang lain. Kaitan antara satu ilmu dengan ilmu yang lain disebut nisbat, yang artinya hubungan. Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan yang satu dengan ilmu pengetahuan yang lainnya saling berhubungan. Namun hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan, dan ada pula yang agak jauh.
Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan berdekatan antara lain Ilmu Tasawuf, Ilmu Tauhid, Ilmu Pendidikan, Ilmu Jiwa dan filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan pertengahan adalah Ilmu Hukum, Ilmu Sosial, Ilmu Sejarah, dan Ilmu Antropologi. Dan ilmu-ilmu yang agak jauh hubungannya dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu fisika, biologi, dan ilmu politik.
Dalam uraian ini hubungan Ilmu Akhlak hanya akan dibatasi pada ilmu-ilmu yang memiliki hubungan yang sangat erat sebagaimana tersebut di atas. Ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan Ilmu Akhlak tersebut dapat dikemukakan pada bab selanjutnya.

B.
       Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang akan kami ambil sebagai acuan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan akhlak?
2.      Apa hubungan akhlak dengan ilmu tasawuf?
3.      Apa hubungan akhlak dengan ilmu kalam?
4.      Apa hubungan akhlak  dengan imu filsafat?
5.      Apa hubungan akhlak dengan ilmu pendidikan?

C.        Tujuan Pembahasan
            Tujuan pembahasan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.      Pengertian akhlak
2.      Hubungan akhlak dengan ilmu tasawuf
3.      Hubungan akhlak dengan ilmu kalam
4.      Hubungan akhlak  dengan imu filsafat
5.      Hubungan akhlak dengan ilmu pendidikan



BAB II
PEMBAHASAN

A.                Pengertian Akhlak
Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang artinya budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabiat. Kata akhlak mempunyai sinonim dengan etika dan moral. Etika dan moral berasal dari bahasa Latin yang berasal dari kata etos yaitu kebiasaan dan mores artinya kebiasaannya. Kata akhlak berasal dari kata kerja khalaqa yang artinya menciptakan. Khaliq maknanya pencipta atau Tuhan dan makhluq artinya yang diciptakan, sedangkang khalaq maknanya penciptaan. Kata khalaqa yang mempunyai kata yang seakar di atas mengandung maksud bahwa akhlak merupakan jalinan yang mengikat atas kehendak Tuhan dan manusia. Pada makna lain kata akhlak dapat diartikan tata prilaku seseorang terhadap orang lain. Jika prilaku ataupun tindakan tersebut didasarkan atas kehendak Khaliq (Tuhan) maka hal itu disebut sebagai akhlak hakiki. Dengan demikian akhlak dapat dimaknai tata aturan atau norma prilaku yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan serta alam semesta.
Pengertian akhlak secara terminologis menurut ulama:
 
a)         Menurut Imam Gazali:
الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير

حاجة إلى فكر ورؤية

Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan. Atau boleh juga dikatakan sudah menjadi kebiasaan. Orang yang pemurah sudah biasa memberi. Ia memberi itu tanpa banyak pertimbangan lagi. Seolah-olah tangannnya suda terbuka lebar untuk itu. Begitu juga orang kikir. Seolah-olah tangannya sudah terpaku saja dalam kantongnya, tidak mau mengulurkan bantuan kepada fakir miskin. Begitu juga orang pemarah. Selalu saja marah tanpa ada alasan.

b)         Menurut Ibnu Maskawaih:

الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية

Akhlak adalah gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran.

c) Menurut Ahmad Amin:
الخلق عادة الإرادة

Khuluq (akhlak) adalah membiasakan kehendak.
Sebagian ulama mengatakan akhlak itu ialah suatu sifat yang terpendam dalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul waktu ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah). Pendapat itu tidak jauh bebeda dengan pendapat Imam Gazali.
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera-rusaknya sesuatu bangsa dan masyarakat tergantung keadaan bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak), akan sejahteralah lahir-batinnya, akan tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah lahirnya atau batinnya.

B.                Hubungan Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka ragam di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya dibandingkan aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan, tasawuf lebih menekankan kehidupan akhirat dibandingkan dengan  kehidupan dunia yang fana, sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, tasawuf penafsiran batini dibanding penafsiran lahiriah. Tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspeknya karena para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi, memercayai keutamaan spirit dibanding jasad, memercayai dunia spiritual dibanding dunia material.
Para ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan.
Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat pada kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang atau hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf, bahwa Al-Quran dan Al-Hadist mementingkan akhlak. Al-Quran dan Al-Hadist menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong–menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-Quran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishab bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.

C.                Hubungan Akhlak dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam atau ilmu tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga disebut sebagai Ilmu Ushul al-Din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama Kitab Ushul al-Din. Dinamakan demikian karena masalah yang pokok dalam Islam. Selain itu ilmu ini juga dikatakan dengan ilmu aqa’id, credo atau keyakinan-keyakinan, dan buku-buku yang menguppas tentang keyakinan-keyakinan diberi judul al-Aqa’id (ikatan yang kokoh).
Selanjutnya ilmu tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti ilmu tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan, maka yang dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam Al-Quran, dan masalah ini pernah menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras di kalangan ummat Islam di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi sehingga menimbulkan pertentangan dan penganiayaan terhadap sesama muslim.
Selanjutnya yang dimaksud dengan kalam adalah kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Ilmu kalam adalah ilmu ushuluddin, ilmu pokok-pokok agama, yakni menyangkut aqidah dan keimanan. Akhlak yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup sekedar disimpan dalam hati, melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shaleh, barulah dikatakan iman itu sempurna, karena telah dapat direalisir.
Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan ilmu tauhid maka kita dapat memperoleh kesan yang mendalam bahwa Ilmu tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya. Juga termasuk pula pembahasan ilmu tauhid yaitu rukun Iman.
Jelaslah akhlaqul karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu (berbuat kejahatan) adalah salah satu daripada akhlaqul mahmudah. Nabi dalam salah satu hadist menegakan bahwa “Malu itu adalah cabang dari pada keimanan”.
Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip iman. Seterusnya sekalipun sesuatu perbuatan pada akhirnya baik, tetapi titik tolaknya bukan karena iman, maka hal itu tidak mendapat penilaian di sisi Allah SWT. Demikianlah adanya perbedaan nilai amal-amal baiknya orang beriman dengan amal-amal baiknya orang yang tidak beriman.
Hubungan antara aqidah dan akhlak tercermin dalam pernyataan Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a “Orang mu’min yang sempurna imannya ialah yang terbaik budi pekertinya.” (Riwayat at-Tirmidzi)
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid sekurang-kurangnya dapat dilihat sebagai berikut:

1.                  Dilihat dari segi objek pembahasannya
Ilmu kalam atau ilmu tauhid membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dan untuk mengarahkan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Allah SWT berfirman:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah, 98: 5)

2.                  Dilihat dari segi fungsinya
Ilmu kalam atau tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghapal rukun iman dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Allah itu. Adapun rukun iman yang harus dibina itu adalah:
a.                   Beriman kepada Allah
Jika seorang beriman kepada Allah dan percaya kepada sifat-sifatnya yang sembilan puluh sembilan itu maka Asmaul Husna itu harus dipraktikkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.

b.                  Beriman kepada malaikat
Yang dimaksud disini adalah agar manusia meniru sifat-sifat terpuji yang terdapat pada malaikat, seperti jujur, amanah, tidak pernah durhaka, dan patuh dalam melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan.
c.                   Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan (Al-Quran)
Secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan Al-Quran sebagai wasit, hakim serta imam dalam kehidupan. Secara tidak sengaja maka kita mengikuti akhlak yang sesuai dengan akhlak yang terdapat dalam Al-Quran.
d.                  Beriman kepada Rasul-rasul Allah
Dalam diri para rasul terdapat akhlak yang mulia. Khususnya pada diri Rasulullah Muhammad Saw. Kita sebagai manusia diperintahkan untuk mencontoh akhlak yang ada pada diri Rasul Saw. Dengan cara demikian beriman kepada para rasul akan menimbulkan akhlak yang mulia. Hal ini dapat diperkuat lagi dengan cara meniru sifat-sifat yang wajib pada Rasul, yaitu sifat shidik (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran sesuai dengan perintah Allah), dan fathanah (cerdas).
e.                   Beriman kepada hari akhirat
Dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa selama amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya nanti. Kebahagiaan hidup di akhirat yang ditentukan oleh amal perbuatan yang baik dan sebanyak-banyaknya akan mendorong seseorang memiliki etos kerja untuk selalu melakukan perbuatan yang baik selama hidupnya di dunia ini.
f.                   Beriman kepada qada’ dan qadar
Agar orang yang percaya kepada qada’ dan qadar Tuhan itu senantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan yang demikian merupakan perbuatan akhlak yang mulia.

3.         Dilihat dari eratnya kaitan antara iman dan amal shalih.
Hubungan antara iman dan amal shalih banyak sekali kita jumpai di dalam Al-Quran maupun hadist. Misalnya:
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. Al-Nisa, 4: 65).
Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Nur, 24: 51).
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. (QS. Al-Anfal, 8: 2-4).
Jika kita perhatikan ayat-ayat tersebut secara seksama akan tampak bahwa ayat-ayat tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlak mulia. Ayat-ayat tersebut dengan jelas bahwa keimanan harus dimanifestasikan dalam perbuatan akhlak dalam bentuk kerelaan dalam menerima keputusan yang diberikan Nabi terhadap perkara yang diperselisihkan di antara manusia, patut dan tunduk terhadap keputusan Allah dan rasulnya, bergetar hatinya jika dibacakan ayat-ayat Allah, bertawakal, melaksanakan shalat dengan khusyu’, berinfaq di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak ada gunanya, menjaga farjinya, dan tidak ragu-ragu dalam berjuang di jalan Allah SWT. Maka disinilah letaknya hubungan antara keimanan dengan pembentukan ilmu akhlak.
Dari uraian di atas dapat dilihat dengan jelas hubungan antara keimanan yang dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan perbuatan yang dibahas dalam ilmu akhlak. Ilmu kalam tampil dalam memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak tampil dengan memberikan penjabaran dan pengalaman dari ilmu kalam atau ilmu tauhid. Tauhid tanpa akhlak yang mulia tiada artinya, dan akhlak yang mulia tampa tauhid maka tidak akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut.

D.                Hubungan Akhlak  dengan Imu Filsafat
Filsafat diambil dari bahasa arab yaitu falsafah, dari bahasa Yunani pilosophia, kata majemuk yang terdiri dari kata philos yang artinya cinta atau suka, dan kata shopia yang artinya bijaksana. Dengan demikian, secara etimologis kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut pilosopher atau failasuf (istilah failasuf, lihat ibn Mandzur dalam lisan al-Arab). Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan pengertian atau batasan. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan mengunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:
a.         Metafisika            : penyelidikan di balik alam nyata
b.        Kosmologia          : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c.         Logika                  : pembahasan tentang cara berpikir cepat dan tepat
d.        Etika                     : pembahasan tentang tingkah laku manusia
e.         Theodicea             : pembahasan tentang ketuhanan
f.         Antropolgi            : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika atau akhlak termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan bekembang yang pada akhirnya membentuk rumah tangganya sendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika atau akhlak dalam proses perkembangannya, sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan tematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Di dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya.
Di antara filsafat objek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah tentang manusia. Para filosof Muslim seperti Ibn Sina (980-1037 M.) dan al-Gazali (1059-1111 M.) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa.
 Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina merupakan petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu akhlak.
Pemikiran al-Gazali ini memberikan petunjuk adanya perbedaan cara pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran tentang manusia dapat pula kita jumpai pada Ibn Khaldun. Dalam pemikiran Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan tewujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ia menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan manusia dalam pembinaan akhlaknya.
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian ideal. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosof itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.

E.                Hubungan Akhlak dengan Ilmu Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam rangka untuk membantu perkembangan potensi peserta didik guna memiliki kompetensi yang diharapkan oleh masyarakat. Pendidikan paling tidak mengembangkan tiga dimensi individu manusia, yaitu dimensi pikir (akliah), dimensi dzikir (hati), dan dimensi badan (jasadiah). Ketiga dimensi tersebutlah yang akan dikembangkan dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan alat atau media dalam mengembangkan dimensi yang ada dalam diri manusia.
Tujuan pokok akhlak ialah "agar setiap manusia berbudi pekerti (berakhlak), bertingkah laku, berperangai atau beradat istiadat yang baik, yang sesuai dengan ajaran Islam". Masih mengenai tujuan akhlak menurut Akmal Hawi ialah "agar setiap manusia dapat bertingkah laku dan bersifat baik serta terpuji”. Akhlak yang mulia terlihat dari penampilan sikap pengabdianya kepada Allah SWT, dan kepada lingkungannya baik kepada sesama manusia maupun terhadap alam sekitarnya. Dengan akhlak yang mulia manusia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
               Akhlak dan pendidikan sangat berkaitan dengan erat. Seseorang tanpa mendapatkan pendidikan yang baik tidak dapat berakhlak dengan baik pula. Orang yang berakhlak baik, melakukan kebaikan secara spontan tanpa pamrih apapun, demikian juga orang yang berakhlak buruk, melakukan keburukan secara spontan tanpa mempertimbangkan akibat bagi dirinya maupun bagi yang dijahati. Manusia tidak ada yang secara tiba-tiba menjadi orang bijak atau tiba-­tiba menjadi penjahat besar. Untuk menjadi orang bijak atau menjadi penjahat besar manusia butuh proses yang mengantarnya pada keadaan itu. Karena akhlak adalah keadaan batin, maka pendidikan akhlak objeknya adalah batin seseorang. Meski demikian bukan berarti menafikan yang lahir, karena antara lahir dan batin ada hubungan saling mempengaruhi. Orang yang hatinya baik, pada umumnya perilaku lahirnya (sopan santunnya) baik, tetapi tidak semua orang yang memiliki sopan santun akhlaknya baik. Penanaman disiplin atau pembiasaan pola tingkah laku lahir yang baik (sopan santun), pada orang tertentu dapat menjadi proses pembentukan akhlak yang baik, tapi pada orang lain bisa juga menumbuhkan sifat munafik (pura-pura baik). Demikian juga pembiasaan pola tingkah laku buruk, pada seseorang bisa menjadikannya orang jahat, tetapi pada orang lain mungkin akan melahirkan sikap resistensi secara ekstrim kepada keburukan. Hal itu disebabkan karena setiap orang sebenarnya memiliki "modal" kepribadian atau kapasitas yang berbeda-beda, ada yang kuat dorongan kebaikannya dan ada yang sebaliknya.
Kebanyakan ahli-ahli pendidikan berpendapat bahwa anak-anak didik dalam suatu ruangan kelas hendaknya sebaya umurnya dan tingkatkan kecerdasannya. Hal itu untuk menjaga agar budi pekerti mereka tidak terpengaruhi oleh anak-anak didik yang lebih berumur atau yang lebih tua yang sudah mengetahui bermacam-macam perbuatan yang tidak baik di luar sekolah. Pergaulan menjadikan anak-anak didik hampir serupa tingkah lakunya. Seolah-olah mereka sudah bersatu dalam tindak tanduknya. Mungkin semua menjadi baik atau sebaliknya. Begitu pun menularnya sifat buruk atau baik, sabda Rasulullah “Sifat seseorang sama dengan orang yang disukainya (teman sepergaulan).












BAB III
PENUTUP

A.              Simpulan
Ø  Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang artinya budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabiat. Secara terminologis akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan. Atau boleh juga dikatakan sudah menjadi kebiasaan.
Ø  Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf adalah ketika mempelajari tasawuf, bahwa Al-Quran dan Al-Hadis mementingkan akhlak. Bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak.
Ø  Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid sekuang-kurangnya dapat dilihat dari segi objek pembahasan, fungsi, iman dan amal shalih.
Ø  Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan mengunakan pikiran yang meliputi alam nyata, filsafat alam, cara berpikir cepat dan tepat, tingkah laku manusia, ketuhanan dan manusia. Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat.
Ø  Hubungan akhlak dengan pendidikan sangat berkaitan dengan erat. Seseorang tanpa mendapatkan pendidikan yang baik tidak dapat berakhlak dengan baik pula. Manusia tidak ada yang secara tiba-tiba menjadi orang bijak atau tiba-­tiba menjadi penjahat besar. Untuk menjadi orang bijak atau menjadi penjahat besar manusia butuh proses yang mengantarnya pada keadaan itu. Karena akhlak adalah keadaan batin, maka pendidikan akhlak objeknya adalah batin seseorang.

B.                Saran
Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam ilmu akhlak, perlu pula melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada disekitar manusia.




DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Oemar. 1993. Akhlak Muslim. Bandung: Angkasa Bandung
Djatnika, Rachmat. 1996. Sistem Etika Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-Aliaran Filsafat Dan Etika. Jakarta: Prenada Media
Ruswandi, Uus. 2008. Landasan Pendidikan. Bandung: Insan Mandiri
Ya’qub, Hamzah. 1996. Etika Islam. Bandung: Diponegoro

http://aldarkhan.blogspot.com/2010/05/hubungan-ilmu-akhlak-dengan-ilmu.html?zx=84cac695de4fecc6