BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suatu ilmu tak akan bisa berdiri sendiri tanpa ada kaitannya dengan ilmu yang lain. Kaitan antara satu ilmu dengan ilmu yang lain disebut nisbat, yang artinya hubungan. Pada dasarnya setiap ilmu pengetahuan yang satu dengan ilmu pengetahuan yang lainnya saling berhubungan. Namun hubungan tersebut ada yang sifatnya berdekatan, yang pertengahan, dan ada pula yang agak jauh.
Ilmu-ilmu yang hubungannya dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan berdekatan antara lain Ilmu Tasawuf, Ilmu Tauhid, Ilmu Pendidikan, Ilmu Jiwa dan filsafat. Sedangkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Akhlak dapat dikategorikan pertengahan adalah Ilmu Hukum, Ilmu Sosial, Ilmu Sejarah, dan Ilmu Antropologi. Dan ilmu-ilmu yang agak jauh hubungannya dengan Ilmu Akhlak adalah ilmu fisika, biologi, dan ilmu politik.
Dalam uraian ini hubungan Ilmu Akhlak hanya akan dibatasi pada ilmu-ilmu yang memiliki hubungan yang sangat erat sebagaimana tersebut di atas. Ilmu-ilmu yang erat hubungannya dengan Ilmu Akhlak tersebut dapat dikemukakan pada bab selanjutnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan permasalahan yang akan kami ambil sebagai acuan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan akhlak?
2. Apa hubungan akhlak dengan ilmu tasawuf?
3. Apa hubungan akhlak dengan ilmu kalam?
4. Apa hubungan akhlak dengan imu filsafat?
5. Apa hubungan akhlak dengan ilmu pendidikan?
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Pengertian akhlak
2. Hubungan akhlak dengan ilmu tasawuf
3. Hubungan akhlak dengan ilmu kalam
4. Hubungan akhlak dengan imu filsafat
5. Hubungan akhlak dengan ilmu pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akhlak
Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang artinya budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabiat. Kata akhlak mempunyai sinonim dengan etika dan moral. Etika dan moral berasal dari bahasa Latin yang berasal dari kata etos yaitu kebiasaan dan mores artinya kebiasaannya. Kata akhlak berasal dari kata kerja khalaqa yang artinya menciptakan. Khaliq maknanya pencipta atau Tuhan dan makhluq artinya yang diciptakan, sedangkang khalaq maknanya penciptaan. Kata khalaqa yang mempunyai kata yang seakar di atas mengandung maksud bahwa akhlak merupakan jalinan yang mengikat atas kehendak Tuhan dan manusia. Pada makna lain kata akhlak dapat diartikan tata prilaku seseorang terhadap orang lain. Jika prilaku ataupun tindakan tersebut didasarkan atas kehendak Khaliq (Tuhan) maka hal itu disebut sebagai akhlak hakiki. Dengan demikian akhlak dapat dimaknai tata aturan atau norma prilaku yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan serta alam semesta.
Pengertian akhlak secara terminologis menurut ulama:
a) Menurut Imam Gazali:
الخلق عبارة عن هيئة في النفس راسخة عنها تصدر الأفعال بسهولة ويسر من غير
حاجة إلى فكر ورؤية
Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan. Atau boleh juga dikatakan sudah menjadi kebiasaan. Orang yang pemurah sudah biasa memberi. Ia memberi itu tanpa banyak pertimbangan lagi. Seolah-olah tangannnya suda terbuka lebar untuk itu. Begitu juga orang kikir. Seolah-olah tangannya sudah terpaku saja dalam kantongnya, tidak mau mengulurkan bantuan kepada fakir miskin. Begitu juga orang pemarah. Selalu saja marah tanpa ada alasan.
b) Menurut Ibnu Maskawaih:
الخلق حال للنفس داعية لها إلى أفعالها من غير فكر وروية
Akhlak adalah gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pikiran.
c) Menurut Ahmad Amin:
الخلق عادة الإرادة
Khuluq (akhlak) adalah membiasakan kehendak.
Sebagian ulama mengatakan akhlak itu ialah suatu sifat yang terpendam dalam jiwa seseorang dan sifat itu akan timbul waktu ia bertindak tanpa merasa sulit (timbul dengan mudah). Pendapat itu tidak jauh bebeda dengan pendapat Imam Gazali.
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting sekali, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya, sejahtera-rusaknya sesuatu bangsa dan masyarakat tergantung keadaan bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak), akan sejahteralah lahir-batinnya, akan tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah lahirnya atau batinnya.
B. Hubungan Akhlak dengan Ilmu Tasawuf
Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka ragam di dalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya dibandingkan aspek jasmaninya. Dalam kaitannya dengan kehidupan, tasawuf lebih menekankan kehidupan akhirat dibandingkan dengan kehidupan dunia yang fana, sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, tasawuf penafsiran batini dibanding penafsiran lahiriah. Tasawuf lebih menekankan spiritualitas dalam berbagai aspeknya karena para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi, memercayai keutamaan spirit dibanding jasad, memercayai dunia spiritual dibanding dunia material.
Para ahli ilmu tasawuf pada umumnya membagi tasawuf kepada tiga bagian. Pertama tasawuf falsafi, kedua tasawuf akhlaki, dan ketiga tasawuf amali. Ketiga macam tasawuf ini tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah dengan cara membersihkan diri dari perbuatan yang tercela dan menghias diri dengan perbuatan yang terpuji. Dengan demikian dalam proses pencapaian tujuan bertasawuf seseorang harus terlebih dahulu berakhlak mulia. Ketiga macam tasawuf ini berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan.
Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio atau akal pikiran, karena dalam tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau pemikiran yang terdapat pada kalangan filosof, seperti filsafat tentang Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Selanjutnya pada tasawuf akhlaki pendekatan yang digunakan adalah pendekatan akhlak yang tahapannya terdiri dari takhalli (mengosongkan diri dengan akhlak yang buruk), tahalli (menghiasinya dengan akhlak terpuji), tajalli (terbukanya dinding penghalang atau hijab) yang membatasi manusia dengan Tuhan, sehingga Nur Ilahi tampak jelas padanya. Sedangkan pada tasawuf amali pendekatan yang digunakan adalah pendekatan amaliah atau wirid, yang selanjutnya mengambil bentuk tarikat. Dengan mengamalkan tasawuf baik yang bersifat falsafi, akhlaki atau amali, seseorang dengan sendirinya berakhlak baik. Perbuatan yang demikian itu ia lakukan dengan sengaja, sadar, pilihan sendiri, dan bukan karena terpaksa.
Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf lebih lanjut dapat kita ikuti uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya ketika mempelajari tasawuf, bahwa Al-Quran dan Al-Hadist mementingkan akhlak. Al-Quran dan Al-Hadist menekankan kejujuran, kesetiakawanan, persaudaraan, rasa kesosialan, keadilan, tolong–menolong, murah hati, suka memberi maaf, sabar, baik sangka, berkata benar, pemurah, keramahan, bersih hati, berani, kesucian, hemat, menepati janji, disiplin, mencintai ilmu, dan berpikir lurus. Nilai-nilai serupa ini yang harus dimiliki oleh seorang muslim, dan dimasukkan ke dalam dirinya dari semasa ia kecil.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam Islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-Quran dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar, mengajak orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka. Hal itu, dalam istilah sufi disebut dengan al-takhalluq bi akjlaqillah, yaitu berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah, atau al-ittishab bi shifatillah, yaitu mensifati diri dengan sifat-sifat yang dimiliki Allah.
C. Hubungan Akhlak dengan Ilmu Kalam
Ilmu kalam atau ilmu tauhid sebagaimana dikemukakan Harun Nasution mengandung arti sebagai ilmu yang membahas tentang cara-cara meng-Esakan Tuhan, sebagai salah satu yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan lainnya. Selain itu ilmu ini juga disebut sebagai Ilmu Ushul al-Din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama Kitab Ushul al-Din. Dinamakan demikian karena masalah yang pokok dalam Islam. Selain itu ilmu ini juga dikatakan dengan ilmu aqa’id, credo atau keyakinan-keyakinan, dan buku-buku yang menguppas tentang keyakinan-keyakinan diberi judul al-Aqa’id (ikatan yang kokoh).
Selanjutnya ilmu tauhid disebut pula Ilmu Kalam yang secara harfiah berarti ilmu tentang kata-kata. Kalau yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan, maka yang dimaksud adalah kalam Tuhan yang ada di dalam Al-Quran, dan masalah ini pernah menimbulkan perbincangan bahkan pertentangan keras di kalangan ummat Islam di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi sehingga menimbulkan pertentangan dan penganiayaan terhadap sesama muslim.
Selanjutnya yang dimaksud dengan kalam adalah kata-kata manusia, maka yang dimaksud dengan ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang kata-kata atau silat lidah dalam rangka mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing. Ilmu kalam adalah ilmu ushuluddin, ilmu pokok-pokok agama, yakni menyangkut aqidah dan keimanan. Akhlak yang baik menurut pandangan Islam haruslah berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup sekedar disimpan dalam hati, melainkan harus dilahirkan dalam perbuatan yang nyata dan dalam bentuk amal shaleh, barulah dikatakan iman itu sempurna, karena telah dapat direalisir.
Dari berbagai istilah yang berkaitan dengan ilmu tauhid maka kita dapat memperoleh kesan yang mendalam bahwa Ilmu tauhid itu pada intinya berkaitan dengan upaya memahami dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat dan perbuatan-Nya. Juga termasuk pula pembahasan ilmu tauhid yaitu rukun Iman.
Jelaslah akhlaqul karimah adalah mata rantai iman. Sebagai contoh, malu (berbuat kejahatan) adalah salah satu daripada akhlaqul mahmudah. Nabi dalam salah satu hadist menegakan bahwa “Malu itu adalah cabang dari pada keimanan”.
Sebaliknya, akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip iman. Seterusnya sekalipun sesuatu perbuatan pada akhirnya baik, tetapi titik tolaknya bukan karena iman, maka hal itu tidak mendapat penilaian di sisi Allah SWT. Demikianlah adanya perbedaan nilai amal-amal baiknya orang beriman dengan amal-amal baiknya orang yang tidak beriman.
Hubungan antara aqidah dan akhlak tercermin dalam pernyataan Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a “Orang mu’min yang sempurna imannya ialah yang terbaik budi pekertinya.” (Riwayat at-Tirmidzi)
Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid sekurang-kurangnya dapat dilihat sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi objek pembahasannya
Ilmu kalam atau ilmu tauhid membahas masalah Tuhan baik dari segi zat, sifat dan perbuatan-Nya. Kepercayaan yang mantap kepada Tuhan yang demikian itu akan menjadi landasan untuk mengarahkan amal perbuatan yang dilakukan manusia itu akan tertuju semata-mata karena Allah SWT. Dan untuk mengarahkan manusia menjadi ikhlas, dan keikhlasan ini merupakan salah satu akhlak yang mulia. Allah SWT berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah, 98: 5)
2. Dilihat dari segi fungsinya
Ilmu kalam atau tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup dengan menghapal rukun iman dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah orang yang bertauhid itu meniru dan mencontoh terhadap subjek yang terdapat dalam rukun iman itu. Jika kita percaya bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang mulia, maka sebaiknya manusia yang bertauhid meniru sifat-sifat Allah itu. Adapun rukun iman yang harus dibina itu adalah:
a. Beriman kepada Allah
Jika seorang beriman kepada Allah dan percaya kepada sifat-sifatnya yang sembilan puluh sembilan itu maka Asmaul Husna itu harus dipraktikkan dalam kehidupan. Dengan cara demikian beriman kepada Allah akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak yang mulia.
b. Beriman kepada malaikat
Yang dimaksud disini adalah agar manusia meniru sifat-sifat terpuji yang terdapat pada malaikat, seperti jujur, amanah, tidak pernah durhaka, dan patuh dalam melaksanakan segala yang diperintahkan Tuhan.
c. Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Tuhan (Al-Quran)
Secara akhlaki harus diikuti dengan upaya menjadikan Al-Quran sebagai wasit, hakim serta imam dalam kehidupan. Secara tidak sengaja maka kita mengikuti akhlak yang sesuai dengan akhlak yang terdapat dalam Al-Quran.
d. Beriman kepada Rasul-rasul Allah
Dalam diri para rasul terdapat akhlak yang mulia. Khususnya pada diri Rasulullah Muhammad Saw. Kita sebagai manusia diperintahkan untuk mencontoh akhlak yang ada pada diri Rasul Saw. Dengan cara demikian beriman kepada para rasul akan menimbulkan akhlak yang mulia. Hal ini dapat diperkuat lagi dengan cara meniru sifat-sifat yang wajib pada Rasul, yaitu sifat shidik (jujur), amanah (terpercaya), tabligh (menyampaikan ajaran sesuai dengan perintah Allah), dan fathanah (cerdas).
e. Beriman kepada hari akhirat
Dari sisi akhlaki harus disertai dengan upaya menyadari bahwa selama amal perbuatan yang dilakukan selama di dunia ini akan dimintakan pertanggung jawabannya nanti. Kebahagiaan hidup di akhirat yang ditentukan oleh amal perbuatan yang baik dan sebanyak-banyaknya akan mendorong seseorang memiliki etos kerja untuk selalu melakukan perbuatan yang baik selama hidupnya di dunia ini.
f. Beriman kepada qada’ dan qadar
Agar orang yang percaya kepada qada’ dan qadar Tuhan itu senantiasa mau bersyukur terhadap keputusan Tuhan dan rela menerima segala keputusan-Nya. Perbuatan yang demikian merupakan perbuatan akhlak yang mulia.
3. Dilihat dari eratnya kaitan antara iman dan amal shalih.
Hubungan antara iman dan amal shalih banyak sekali kita jumpai di dalam Al-Quran maupun hadist. Misalnya:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. Al-Nisa, 4: 65).
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh. Dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Nur, 24: 51).
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya”. (QS. Al-Anfal, 8: 2-4).
Jika kita perhatikan ayat-ayat tersebut secara seksama akan tampak bahwa ayat-ayat tersebut seluruhnya bertemakan keimanan dalam hubungannya dengan akhlak mulia. Ayat-ayat tersebut dengan jelas bahwa keimanan harus dimanifestasikan dalam perbuatan akhlak dalam bentuk kerelaan dalam menerima keputusan yang diberikan Nabi terhadap perkara yang diperselisihkan di antara manusia, patut dan tunduk terhadap keputusan Allah dan rasulnya, bergetar hatinya jika dibacakan ayat-ayat Allah, bertawakal, melaksanakan shalat dengan khusyu’, berinfaq di jalan Allah, menjauhi perbuatan yang tidak ada gunanya, menjaga farjinya, dan tidak ragu-ragu dalam berjuang di jalan Allah SWT. Maka disinilah letaknya hubungan antara keimanan dengan pembentukan ilmu akhlak.
Dari uraian di atas dapat dilihat dengan jelas hubungan antara keimanan yang dibahas dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid dengan perbuatan yang dibahas dalam ilmu akhlak. Ilmu kalam tampil dalam memberikan landasan terhadap ilmu akhlak, dan ilmu akhlak tampil dengan memberikan penjabaran dan pengalaman dari ilmu kalam atau ilmu tauhid. Tauhid tanpa akhlak yang mulia tiada artinya, dan akhlak yang mulia tampa tauhid maka tidak akan kokoh. Selain itu tauhid memberikan arah terhadap akhlak, dan akhlak memberi isi terhadap arahan tersebut.
D. Hubungan Akhlak dengan Imu Filsafat
Filsafat diambil dari bahasa arab yaitu falsafah, dari bahasa Yunani pilosophia, kata majemuk yang terdiri dari kata philos yang artinya cinta atau suka, dan kata shopia yang artinya bijaksana. Dengan demikian, secara etimologis kata filsafat memberikan pengertian cinta kebijaksanaan. Orangnya disebut pilosopher atau failasuf (istilah failasuf, lihat ibn Mandzur dalam lisan al-Arab). Secara terminologis, filsafat mempunyai arti yang bermacam-macam, sebanyak orang yang memberikan pengertian atau batasan. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan mengunakan pikiran. Bagian-bagiannya meliputi:
a. Metafisika : penyelidikan di balik alam nyata
b. Kosmologia : penyelidikan tentang alam (filsafat alam)
c. Logika : pembahasan tentang cara berpikir cepat dan tepat
d. Etika : pembahasan tentang tingkah laku manusia
e. Theodicea : pembahasan tentang ketuhanan
f. Antropolgi : pembahasan tentang manusia
Dengan demikian, jelaslah bahwa etika atau akhlak termasuk salah satu komponen dalam filsafat. Banyak ilmu-ilmu yang pada mulanya merupakan bagian filsafat karena ilmu tersebut kian meluas dan bekembang yang pada akhirnya membentuk rumah tangganya sendiri dan terlepas dari filsafat. Demikian juga etika atau akhlak dalam proses perkembangannya, sekalipun masih diakui sebagai bagian dalam pembahasan filsafat, kini telah merupakan ilmu yang mempunyai identitas sendiri.
Filsafat sebagaimana diketahui adalah suatu upaya berpikir mendalam, radikal, sampai ke akar-akarnya, universal dan tematik dalam rangka menemukan inti atau hakikat mengenai segala sesuatu. Di dalam filsafat segala sesuatu dibahas untuk ditemukan hakikatnya.
Di antara filsafat objek pemikiran filsafat yang erat kaitannya dengan ilmu akhlak adalah tentang manusia. Para filosof Muslim seperti Ibn Sina (980-1037 M.) dan al-Gazali (1059-1111 M.) memiliki pemikiran tentang manusia sebagaimana terlihat dalam pemikirannya tentang jiwa.
Pemikiran filsafat tentang jiwa yang dikemukakan Ibn Sina merupakan petunjuk bahwa dalam pemikiran filsafat terdapat bahan-bahan atau sumber yang dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep ilmu akhlak.
Pemikiran al-Gazali ini memberikan petunjuk adanya perbedaan cara pendekatan dalam menghadapi seseorang sesuai dengan tingkat dan daya tangkapnya. Pemikiran yang demikian akan membantu dalam merumuskan metode dan pendekatan yang tepat dalam mengajarkan akhlak.
Pemikiran tentang manusia dapat pula kita jumpai pada Ibn Khaldun. Dalam pemikiran Ibn Khaldun tampak bahwa manusia adalah makhluk budaya yang kesempurnaannya baru akan tewujud manakala ia berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Ia menunjukkan tentang perlunya pembinaan manusia, termasuk dalam pembinaan manusia dalam pembinaan akhlaknya.
Manusia dalam konteks insan adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian ideal. Gambaran tentang manusia yang terdapat dalam pemikiran filosof itu akan memberikan masukan yang amat berguna dalam merancang dan merencanakan tentang cara-cara membina manusia, memperlakukannya, berkomunikasi dengannya dan sebagainya. Dengan cara demikian akan tercipta pola hubungan yang dapat dilakukan dalam menciptakan kehidupan yang aman dan damai.
E. Hubungan Akhlak dengan Ilmu Pendidikan
Pendidikan adalah proses yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam rangka untuk membantu perkembangan potensi peserta didik guna memiliki kompetensi yang diharapkan oleh masyarakat. Pendidikan paling tidak mengembangkan tiga dimensi individu manusia, yaitu dimensi pikir (akliah), dimensi dzikir (hati), dan dimensi badan (jasadiah). Ketiga dimensi tersebutlah yang akan dikembangkan dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, pendidikan merupakan alat atau media dalam mengembangkan dimensi yang ada dalam diri manusia.
Tujuan pokok akhlak ialah "agar setiap manusia berbudi pekerti (berakhlak), bertingkah laku, berperangai atau beradat istiadat yang baik, yang sesuai dengan ajaran Islam". Masih mengenai tujuan akhlak menurut Akmal Hawi ialah "agar setiap manusia dapat bertingkah laku dan bersifat baik serta terpuji”. Akhlak yang mulia terlihat dari penampilan sikap pengabdianya kepada Allah SWT, dan kepada lingkungannya baik kepada sesama manusia maupun terhadap alam sekitarnya. Dengan akhlak yang mulia manusia akan mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat.
Akhlak dan pendidikan sangat berkaitan dengan erat. Seseorang tanpa mendapatkan pendidikan yang baik tidak dapat berakhlak dengan baik pula. Orang yang berakhlak baik, melakukan kebaikan secara spontan tanpa pamrih apapun, demikian juga orang yang berakhlak buruk, melakukan keburukan secara spontan tanpa mempertimbangkan akibat bagi dirinya maupun bagi yang dijahati. Manusia tidak ada yang secara tiba-tiba menjadi orang bijak atau tiba-tiba menjadi penjahat besar. Untuk menjadi orang bijak atau menjadi penjahat besar manusia butuh proses yang mengantarnya pada keadaan itu. Karena akhlak adalah keadaan batin, maka pendidikan akhlak objeknya adalah batin seseorang. Meski demikian bukan berarti menafikan yang lahir, karena antara lahir dan batin ada hubungan saling mempengaruhi. Orang yang hatinya baik, pada umumnya perilaku lahirnya (sopan santunnya) baik, tetapi tidak semua orang yang memiliki sopan santun akhlaknya baik. Penanaman disiplin atau pembiasaan pola tingkah laku lahir yang baik (sopan santun), pada orang tertentu dapat menjadi proses pembentukan akhlak yang baik, tapi pada orang lain bisa juga menumbuhkan sifat munafik (pura-pura baik). Demikian juga pembiasaan pola tingkah laku buruk, pada seseorang bisa menjadikannya orang jahat, tetapi pada orang lain mungkin akan melahirkan sikap resistensi secara ekstrim kepada keburukan. Hal itu disebabkan karena setiap orang sebenarnya memiliki "modal" kepribadian atau kapasitas yang berbeda-beda, ada yang kuat dorongan kebaikannya dan ada yang sebaliknya.
Kebanyakan ahli-ahli pendidikan berpendapat bahwa anak-anak didik dalam suatu ruangan kelas hendaknya sebaya umurnya dan tingkatkan kecerdasannya. Hal itu untuk menjaga agar budi pekerti mereka tidak terpengaruhi oleh anak-anak didik yang lebih berumur atau yang lebih tua yang sudah mengetahui bermacam-macam perbuatan yang tidak baik di luar sekolah. Pergaulan menjadikan anak-anak didik hampir serupa tingkah lakunya. Seolah-olah mereka sudah bersatu dalam tindak tanduknya. Mungkin semua menjadi baik atau sebaliknya. Begitu pun menularnya sifat buruk atau baik, sabda Rasulullah “Sifat seseorang sama dengan orang yang disukainya (teman sepergaulan).
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Ø Secara etimologis akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang artinya budi pekerti, tingkah laku, perangai atau tabiat. Secara terminologis akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa (manusia) yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan. Atau boleh juga dikatakan sudah menjadi kebiasaan.
Ø Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf adalah ketika mempelajari tasawuf, bahwa Al-Quran dan Al-Hadis mementingkan akhlak. Bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dan lain sebagainya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak.
Ø Hubungan ilmu akhlak dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid sekuang-kurangnya dapat dilihat dari segi objek pembahasan, fungsi, iman dan amal shalih.
Ø Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha menyelidiki segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan mengunakan pikiran yang meliputi alam nyata, filsafat alam, cara berpikir cepat dan tepat, tingkah laku manusia, ketuhanan dan manusia. Dengan demikian, jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat.
Ø Hubungan akhlak dengan pendidikan sangat berkaitan dengan erat. Seseorang tanpa mendapatkan pendidikan yang baik tidak dapat berakhlak dengan baik pula. Manusia tidak ada yang secara tiba-tiba menjadi orang bijak atau tiba-tiba menjadi penjahat besar. Untuk menjadi orang bijak atau menjadi penjahat besar manusia butuh proses yang mengantarnya pada keadaan itu. Karena akhlak adalah keadaan batin, maka pendidikan akhlak objeknya adalah batin seseorang.
B. Saran
Dengan mengetahui berbagai ilmu yang berhubungan dengan ilmu akhlak tersebut, maka seseorang yang akan memperdalam ilmu akhlak, perlu pula melengkapi dirinya dengan berbagai ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas. Selain itu uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa ilmu akhlak adalah ilmu yang sangat akrab atau berdekatan dengan berbagai permasalahan lainnya yang ada disekitar manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Bakry, Oemar. 1993. Akhlak Muslim. Bandung: Angkasa Bandung
Djatnika, Rachmat. 1996. Sistem Etika Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Jakarta: Erlangga
Praja, Juhaya S. 2003. Aliran-Aliaran Filsafat Dan Etika. Jakarta: Prenada Media
Ruswandi, Uus. 2008. Landasan Pendidikan. Bandung: Insan Mandiri
Ya’qub, Hamzah. 1996. Etika Islam. Bandung: Diponegoro
http://aldarkhan.blogspot.com/2010/05/hubungan-ilmu-akhlak-dengan-ilmu.html?zx=84cac695de4fecc6