Sabtu, 26 November 2011

Psikologi dalam Meningkatkan Motif dan Motivasi Individu (klien)



Psikologi merupakan kajian tentang tingkah laku individu. Landasan psikologi dalam bimbingan dan konseling berarti memberikan pemahaman tentang tingkah laku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Hal ini sangat penting karena bidang garapan bimbingan dan konseling adalah tingkah laku klien, yaitu tingkah laku klien yang perlu diubah atau dikembangkan apabila ia hendak mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya atau ingin mencapai tujuan-tujuan yang dikehendakinya.
Secara sederhana dapat diberi batasan bahwa tingkah laku adalah gerak-hidup individu yang dapat dirumuskan dalam bentuk kata kerja. Jenis dan jumlah tingkah laku manusia terus berkembang sesuai perkembangan budaya mereka. Suatu tingkah laku merupakan perwujudan dari hasil interaksi antara keadaan interen individu dan keadaan eksteren lingkungan.
Latar belakang psikologis, berhubungan dengan hakikat siswa sebagai pribadi yang unik, dinamik dan berkembang, dalam upaya mencapai perwujudan diri. Secara psikologis setiap siswa memerlukan adanya layanan yang bertitik tolak dari kondisi keunikan masing-masing.
Psikologis merupakan landasan yang dapat memberikan pemahaman bagi konselor tentang perilaku individu yang menjadi sasaran layanan (klien). Untuk keperluan bimbingan dan konseling sejumlah daerah kajian dalam bidang psikologi perlu dikuasai, yaitu tentang :
1. Motiv dan motivasi
2. Pembawaan dasar dan lingkungan
3. Perkembangan individu
4. Belajar, balikan dan penguatan
5. Kepribadian
A. Psikologi dalam Meningkatkan Motif dan Motivasi Individu (klien)
Motif adalah dorongan yang menggerakan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini hidup pada diri seseorang dan setiap kali mengusik serta menggerakan orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang terkandung di dalam dorongan itu sendiri. Dengan demikian, suatu tingkah laku yang didasarkan pada motif tertentu tidaklah bersifat sembarangan atau acak, melainkan mengandung isi atau tema sesuai dengan motif yang mendasarinya.
Para ahli umumnya sepakat akan adanya dua penggolongan motif, yaitu motif yang bersifat primer dan yang bersifat sekunder. Motif primer didasari oleh kebutuhan asli yang sejak semula telah ada pada diri setiap individu sejak ia terlahir ke dunia, seperti kebutuhan untuk menghilangkan rasa lapar dan haus serta kebutuhan akan udara bersih. Kebutuhan-kebutuhan tersebut secara mendasar harus terpenuhi, sebab kalau tidak, tantangannya adalah maut. Motif primer itu ada pada setiap orang atau sering kali pemenuhannya tidak dapat ditunda-tunda.
Apabila motif primer melekat pada diri individu sejak awal keberadaan individu tersebut, motif sekunder tidak demikian. Motif sekunder tidak dibawa sejak lahir, melainkan terbentuk bersamaan dengan proses perkembangan individu yang bersangkutan. Motif sekunder ini berkembang berkat adanya usaha belajar. Karena belajar individu terdorong untuk melakukan berbagai hal, seperti berpakaian, melukis, bereaksi, melakukan penelitian, menyimpan uang di bank, mengumpulkan benda-benda antik, berjualan, merangkai bunga, memakai dasi, dan lain sebagainya. Dibanding dengan motif primer yang jenis dan jumlahnya dapat dihitung dengan jari itu, jenis dan jumlah motif sekunder boleh dikatakan tidak terhitung dan cenderung terus berkembang sesuai dengan berkembangnya peradaban manusia. Makin tinggi peradaban sekelompok manusia makin beranekaragamlah motif-motif sekunder yang ada dikalangan kelompok manusia itu, sedangkan motif-motif primernya tetap, yaitu makan, minum, dan bernafas. Keterkaitan antara motif primer dan sekunder bahwa sering kali motif-motif sekunder berkembang justru untuk terpenuhinya dengan lebih baik motif-motif primer.
Motif yang telah berkembang pada diri individu merupakan sesuatu yang laten pada diri individu itu, yang sewaktu-waktu dapat diaktifkan mendorong terwujudnya suatu tingkah laku. Motif yang sedang aktif, biasa disebut motivasi, kekuatannya dapat meningkat, sampai pada taraf yang amat tinggi. Oleh karena itu sering kita jumpai ada orang yang motivasinya rendah atau tinggi, atau ada orang yang amat bersemangat melaksanakan suatu tindakan (tingkah laku), atau bahkan menggebu-gebu, sebaliknya ada yang semangatnya rendah atau kendur. Semuanya itu menggambarkan kuat-lemahnya motif yang sedang aktif mendorong tingkah laku yang dimaksudkan.
Motivasi erat sekali hubungannya dengan perhatian. Tingkah laku yang didasari oleh motif tertentu biasanya terarah pada suatu objek yang sesuai dengan isi atau tema kandungan motifnya. Berkenaan dengan kaitan antara motif dan objek tingkah laku, dikenal adanya motif yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Motif intrinsik dapat ditemui apabila isi atau tema pokok tingkah laku bersesuai dengan atau berada di dalam isi atau tema-tema pokok objek tingkah laku itu. Sedangkan motif ekstrinsik dapat dijumpai apabila isi atau tema pokok tingkah laku tidak bersesuaian atau berada di luar isi atau tema pokok objeknya. Dalam motif ekstrinsik, objek tingkah laku seolah-olah hanya menjadi sekedar jembatan atau perantara bagi terjangkaunya isi atau tema pokok yang lain di luar isi atau tema pokok objek langsung tingkah laku tersebut.
Di samping adanya motif intrinsik dan ekstrinsik, dalam kenyataan di masyarakat berkembang motif dengan sifat yang berbeda. Misalnya, seorang ibu memberi makan seorang pengemis yang kelaparan. Motif intrinsiknya ialah agar pengemis itu terbebas dari rasa laparnya, sedangkan motif ekstrinsik (mungkin itu ada pada diri si pemberi makan) ingin agar dirinya (si pemberi makan itu) dinggap sebagai dermawan yang pemurah dan baik hati.
Ada motif lain yang dapat dikembangkan di balik tingkah laku seseorang. Selain motif intrinsik dengan ekstrinsik sebagaimana dijelaskan tersebut, pada perbuatan memberi makan pengemis dapat dikembangkan motif menolong sesama manusia yang menderita. Di kalangan orang-orang yang iman dan ketakwannya tinggi kepada Tuhan yang Maha Esa, berkembang kesadaran bahwa semua perbuatan hendaknya didasari oleh keimanan dan ketakwaan. Semua perbuatan hendaklah diniati untuk ibadah, yaitu sebesar-besarnya melaksanakan perintah dan menghindari larangan Tuhan. Setiap perbuatan sekecil apapun perbuatan itu, hendaknya dilandasi motif beribadah. Dalam prakteknya sehari-hari, motif beribadah itu diwujudkan dalam doa yang diucapkan sebelum sesorang melakukan sesuatu agar perbuatannya itu diterima dan diridai oleh Tuhan. Kekuatan motivasi beribadah itu akan semakin terasa bagi orang yang bersangkutan apabila ia benar-benar menghayati dan menginternalisasi makna doa itu.
B. Psikologi dalam Memahami Pembawaan dan Lingkungan setiap Individu
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa kondisi mental fisik tertentu. Apa yang dibawa sejak lahir itu sering disebut pembawaan. Dalam artinya yang luas pembawaan meliputi berbagai hal, seperti warna kulit, bentuk dan warna rambut, golongan darah, kecenderungan pertumbuhan fisik, minat, bakat khusus, kecerdasan, kecenderungan ciri-ciri kepribadian tertentu. Kerentanan terhadap penyakit tertentu sering kali juga dikaitkan dengan pembawaan. Pembawaan itu diturunkan melalui pembawa sifat yang terbentuk segera setelah sel telur dari ibu bersatu dengan sel sperma dari ayah pada saat konsepsi.
Kondisi yang menjadi pembawaan itu selanjutnya akan terus tumbuh dan berkembang. Namun pertumbuhan dan perkembangan itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Untuk dapat tumbuh dan berkembangnya apa-apa yang dibawa sejak lahir itu, diperlukan prasarana dan sarana yang semuanya berada dalam lingkungan individu yang bersangkutan. Prasarana dan sarana itu dapat berupa makanan, perlengkapan pendorong dan pemelihara kesehatan, sentuhan sosio-emosional, kelengkapan belajar dan latihan, serta suasana yang memungkinkan berlangsungnya pertumbuhan dan perkembangan itu. Optimalisasi hasil pertumbuhan dan perkembangan isi pembawaan itu amat tergantung pada tersedia dan dinamika prasarana serta sarana yang ada di lingkungan itu.
Kadang-kadang masih terdengar juga perdebatan tentang peranan pembawaan dan lingkungan dalam pertumbuhan dan perkembangan individu. Mana yang lebih dominan peranannya, pembawaan atau lingkungan? Penelitian dalam bidang psikologi pada dasarnya menunjukkan bahwa di antara kedua fakta itu (pembawaan dan lingkungan) yang satu tidak mendominasi yang lain (Sutton-Smith, 1979). Sejak dari rahim ibu sampai dengan usianya yang lebih lanjut, seorang makhluk manusia, dalam proses pertumbuhan dan perkembangan setiap saat membutuhkan unsur-unsur yang ada dalam pembawaanya dan lingkungannya. Penelitian Jensen misalnya (dalam Sutton-Smith, 1973) menegaskan bahwa faktor yang menentukan tinggi-rendahnya intelegensi seseorang adalah interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Dalam kaitan itu pada umumnya tidak dapat diketahui kondisi pembawaan yang asli (yaitu pembawaan yang sama sekali belum dipengaruhi oleh lingkungan). Apa yang dapat diketahui ialah hasil interaksi antara pembawaan dan lingkungan. Demikian juga untuk pertumbuhan fisik, bakat, minat, dan ciri-ciri kepribadian.
Pembawaan dan lingkungan masing-masing individu tidaklah sama. Ada pembawaan yang tinggi, sedang, kurang, dan bahkan kurang sekali. Kadang-kadang kita jumpai individu dengan intelegensi yang amat tinggi (jenius). Bakat yang amat istimewa atau pembawaan yang luar biasa bagusnya itu merupakan anugerah dari Tuhan. Sebaliknya kadang-kadang kita jumpai individu dengan intelegensi yang amat rendah. Pembawaan yang luar biasa indahnya itu juga merupakan amanah dari Tuhan, untuk tidak disia-siakan dan untuk mendapatkan penanganan yang memadai sesuai dengan kemuliaan kemanusiaan.
Demikian juga lingkungan. Ada individu dan lingkungannya sangat baik, ada yang sedang-sedang saja, dan ada pula yang lingkungannya berkekurangan. Keadaan yang ideal adalah apabila seseorang memiliki sekaligus pembawaan dan lingkungan yang bagus. Lingkungan seperti itu dapat amat menunjang pengembangan bakat yang tinggi, sehingga hasilnya dapat diharapkan sangat tinggi pula. Tinggal dua hal yang perlu diperhatikan bagi pengembangan individu yang beruntung itu, yaitu terjaganya kondisi lingkungan yang dinamis-positif dan tingginya motivasi individu untuk memperkembangkan diri.
Keadaan yang kurang menguntungkan ialah apabila salah satu dari dua faktor pembawaan dan lingkungan kurang baik. Pembawaannya cukup baik tetapi lingkungannya kurang menunjang, dan sebaliknya, lingkungan memuaskan tetapi pembawaannya rendah. Tetapi keadaan yang seperti itu masih lebih baik dibandingkan kalau kedua faktor lemah, pembawaan tidak dapat diharapkan dan lingkungannya pun mengecewakan. Keadaan pembawaan dan lingkungan seorang individu dapat diketahui melalui penerapan instrumensi konseling (baik tes maupun non tes) yang dipergunakan oleh konselor. Pemahaman tentang faktor-faktor pembawaan itu perlu mendapat perhatian utama. Lebih dari itu, konselor perlu menyikapi kondisi pembawaan dan lingkungan sarana layanannya secara dinamis. Artinya, konselor memandang apa-apa yang terdapat di dalam pembawaan sebagai modal atau aset yang harus ditumbuh-kembangkan secara optimal. Modal yang dibawa sejak lahir itu (betapapun kecil atau rendahnya modal itu) bukanlah barang mati atau boleh dibiarkan begitu saja, melainkan sesuatu yang menuntut pengolahan sekuat-kuatnya bagi pemiliknya dan orang lain. Penumbuh-kembangan atau pengolahan pembawaan itu adalah melalui lingkungan. Oleh karena itu lingkungan perlu setiap kali ditata dan diperbagus sesuai dengan tuntunan yang wajar bagi penumbuh-kembangan pembawaan itu. Justru menjadi pokok konselorlah untuk memahami sebesar apa modal yang dimiliki oleh klien dan mengupayakan pengaturan lingkungan bagi pengembangan modal itu sambil meningkatkan motivasi klien untuk berbuat searah dengan penumbuh-kembangan modalnya itu.
C. Psikologi dalam Meningkatkan kegiatan Belajar Individu, Memberikan Balikan, dan Penguatan
Belajar merupakan suatu konsep yang amat mendasar dari psikologi. Peristiwa belajar terentang dari bentuk-bentuk belajar yang ditandai oleh perubahan tingkah laku yang amat sederhana sebagai hasil latihan singkat sampai dengan proses mental tingkat tinggi. Topik tentang belajar menjadi materi dasar dan pokok dari pembahasan psikologi, bahkan menjadi inti dalam paparan tentang persepsi dan berpikir; kemampuan dan imajinasi, beragumentasi, dan menilai/mempertimbangkan; sikap, ciri-ciri kepribadian, dan sistem nilai; serta perkembangan dan organisasi kegiatan yang membentuk kepribadian individu (Marx & Bunch, 1997).
Adalah wajar bahwa belajar mendominasi materi psikologi, karena belajar merupakan salah satu keunggulan manusia dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Hanya manusialah makhluk yang belajar. Sejak seorang manusia dilahirkan ia terus menerus belajar: belajar makan, belajar berbicara, berjalan, berkelahi, bersopan-santun, beribadah, mengendalikan diri, mengelabui orang lain, memecahkan masalah, menyenangkan orang lain, menjinakkan kuda, dan sebagainya. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar, seseorang tidak akan mampu mempertahankan dan mengembangkan dirinya; dan dengan belajar itulah manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, mampu berbudaya dan mengembangkan harkat kemanusiaannya.
Inti perbuatan belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan memanfaatkan apa yang sudah ada pada diri individu. Penguasaan sesuatu yang baru itulah tujuan belajar, dan pencapaian sesuatu yang baru itulah tanda-tanda perkembangan. Pertama, bahwa terjadinya perubahan dan/atau tercapainya sesuatu yang baru pada diri individu itu tidak berlangsung dengan sendirinya, melainkan harus diupayakan. Dengan kata lain, pencapaian sesuatu yang baru itu merupakan hasil usaha. Apabila suatu perubahan atau sesuatu yang baru terjadi pada diri individu, tetapi berlangsungnya perubahan itu tanpa disengaja atau diupayakan, maka perubahan atau sesuatu yang baru itu bukanlah hasil belajar, melainkan suatu yang berlangsung secara kebetulan atau hasil pertumbuhan/perkembangan yang berupa kematangan.
Kedua, bahwa proses belajar tidak terjadi di dalam kekosongan, melainkan untuk terjadinya proses belajar diperlukan semacam ”prasyarat”, apabila prasyarat itu belum ada maka mustahillah terjadi proses belajar. Prasyarat tersebut dapat berupa hasil kematangan ataupun hasil belajar yang terdahulu. Agar seorang anak dapat mulai belajar berjalan, maka tulang dan otot-otot anak itu terlebih dahulu harus cukup kuat menopang barat badannya. Belajar berbicara pada anak-anak harus didahului dengan kesiapan organ-organ bicara pada anak itu. Kekuatan tulang dan otot serta kesiapan organ-organ bicara itu merupakan kematangan fisik yang merupakan prasyarat bagi upaya belajar pada anak. Lebih jauh, apabila seorang anak hendak belajar berhitung, terlebih dahulu ia harus memahami konsep tentang angka sebagai prasyarat belajar berhitung itu; untuk belajar suatu rumus matematika harus terlebih dahulu memahami rumus-rumus yang lebih rendah yang mendasarinya; untuk belajar berdagang yang paling awal harus dikuasai konsep-konsep tentang uang, modal, komoditi, untung dan rugi; untuk belajar filsafat harus terlebih dahulu mampu berpikir dan berbahasa secara lurus dan benar, untuk belajar keterampilan yang lebih tinggi seperti gerak-gerak psikomotorik, olah raga, latihan bela diri diperlukan keterampilan-keterampilan yang mendahuluinya; dan sebagainya. Demikianlah prasyarat-prasyarat mental-fisik, baik berupa kematangan maupun hasil belajar diperlukan bagi berlangsungnya upaya belajar sebagaimana diharapkan.
Ketiga, hasil belajar yang diharapkan adalah sesuatu yang baru, baik dalam kawasan kognitif, afektif, konotatif, maupun psikomotoris/keterampilan. Hasil yang merupakan sesuatu yang baru akan memberikan nilai tambah bagi individu yang belajar. Sesudah seseorang belajar secara berhasil, maka ia memperoleh sesuatu yang menjadikan dirinya lebih maju, lebih berkembang, lebih kaya dari pada keadaan sebelum belajar. Dalam kaitan itu, dipertanyakan tentang upaya mengulang pelajaran. Kegiatan mengulang pelajaran kembali bahan lama yang pernah dipelajarinya. Bagaimanakah hasilnya? Adakah sesuatu yang baru didapat oleh orang itu? Kalau tidak, artinya hasilnya persis sama saja dengan apa yang telah diketahui/dipahami/dicapai sebelumnya, maka kegiatan mengulang pelajaran itu sebenarnya percuma saja, membuang-buang waktu, tenaga dan kesempatan belaka. Orang yang mengulang pelajaran dengan hasil seperti itu dapat dikatakan tidak belajar. Ia tidak memperoleh sesuatu yang baru; nilai tambah dari kegiatannya itu tidak diperdapatnya. Sebaliknya, apabila dengan mengulang pelajaran itu ia teringat kembali hal-hal yang telah terlupakan dari materi yang pernah dipelajarinya itu, memahami secara lebih mantap, lebih mampu mengembangkan, dan memperoleh nilai-nilai tambah lainnya berkenaan dengan materi-materi lama yang dipelajari kembali itu, jelaslah kegiatan mengulang pelajaran seperti itu dapat disebut belajar.
Keempat, kegiatan belajar sering kali memerlukan sejumlah sarana, baik berupa peralatan maupun suasana hati dan hubungan sosio-emosional. Sarana peralatan dapat berbentuk buku, alat-alat latihan, alat-alat peraga, peralatan elektronik, peralatan komunikasi, dan berbagai alat bantu belajar lainnya. Ketersediaan dan pemanfaatan yang optimal dari berbagai sarana tersebut akan lebih memungkinkan tercapainya hasil belajar yang optimal pula. Suasana hati dan hubungan emosional yang kondusif, yang artinya cukup mengenakkan sehingga di suatu segi tidak ada hal-hal yang menghambat dan di segi lain justru mendorong berlangsungnya perbuatan belajar, akan lebih memungkinkan lagi tercapainya hasil belajar yang diimpikan. Suasana hati dan hubungan sosio-emosional itu terkait langsung dengan persepsi dan reaksi-reaksi individu yang belajar terhadap lingkungannya dan terhadap hubungan-hubungan antar orang yang ada di lingkungan. Suasana hati yang resah dan gelisah serta hubungan sosio-emosional yang tidak aman dan saling menekan akan memberikan dampak negatif terhadap berlangsungnya kegiatan belajar; sebaliknya suasana hati yang nyaman dan tentram disertai kedamaian dan saling sokong menyokong di antara orang-orang yang ada di lingkungan akan memberikan tunjungan yang positif.
Keadaan sebagaimana tersebut pada butir keempat sangat erat kaitannya dengan motivasi individu untuk melaksanakan kegiatan belajr, baik motivasi intrinsik, ekstrinsik, maupun ibadah. Sarana yang memadai serta suasana hati dan hubungan sosio-emosionl yang kondusif akan lebih memungkinkan berkembangnya motivasi intrinsik dalam belajar. Pada tingkatannya yang lebih tinggi motivasi dapat menyertai kegiatan belajar dalam suasana penuh hasrat untuk mencapai niai tambah yang sebesar-besarnya.
Kelima, hasil yang diperoleh dari kegiatan belajar hendaknya dapat diketahui dan diukur, baik oleh individu yang belajar maupun oleh orang lain. Pengetahuan tentang hasil belajar baik yang diketahui sendiri maupun yang berasal dari orang lain merupakan balikan atau feedback bagi individu yang belajar, terutama tentang sampai berapa jauh kesuksesannya dalam upaya belajar itu. Lebih jauh, bertolak dari keadaan hasil belajar yang dicapainya itu individu yang bersangkutan dapat mengkaji proses belajar yang telah dijalaninya misalnya tentang dimana letak kekuatan dan kelemahannya, hal-hal yang menunjang dan menghambat dan upaya tindak lanjut apa yang perlu dilaksanakan. Adanya balikan seperti itu amat dipelukan oleh individu yang belajar agar ia dapat mengadakan perhitungan tentang upaya belajar yang dilaksanakannya itu dan hasil-hasilnya serta upaya kelanjutannya.
Keenam, upaya belajar merupakan upaya yang berkesinambungan. Bahkan dikatakan bahwa kehidupan manusi sepanjang hayatnya, terutama kehidupan yang normal – dinamis – produktif, dipenuhi oleh upaya belajar. Kegiatan belajar tidak terbatas oleh waktu, tempat, keadaan, dan objek yang dipelajari, ataupun oleh usia. Upaya belajar dikehendaki berlangsung terus-menerus, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan individu yang bersangkutan. Untuk keperluan itu, individu memerlukan penguatan. Dengan penguatan individu terdorong untuk setiap kali mengulangi lagi perbuatan belajarnya. Apabila penguatan itu sering dilakukan, besar kemungkinan individu yang diberi penguatan itu akan melanjutkan, atau bahkan meningkatkan upaya belajarnya, sampai ia memiliki kebiasaan belajar yang baik.
Pemberian penguatan dilakukan memakai pernyataan berkenaan dengan hal-hal yang positif yang ada pada diri individu, khususnya bekenaan dengan kegiatan belajarnya itu; misalnya pernyataan tentang motivasi belajarnya cukup tinggi, hasil belajarnya bagus, caranya menjawab soal-soal cermat, bahasanya lancar, pekerjaannya rapi, dan sebagainya. Pernyataan positif seperti itu diharapkan mendorong tumbuhnya rasa puas, rasa diri mampu bekerja dan mampu mencapai nilai tambah serta menghasilkan sesuatu yang berguna, sehingga ia terdorong untuk mengulangi kegiatan yang menghasilkan dampak positif itu. Apabila hal itu terjadi maka upaya pemberian penguatan menampakkan hasilnya.
Berbagai model belajar telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain model belajar yang didasarkan pada teori pembiasaan dan keterpaduan (conditioning dan connectionisme theories), teori gestalt (gestalt theories), teori perkembangan kognisi (information processing theories), proses peniruan (social learning theory). Teori-teori itu perlu dikenal oleh konselor dan dipahami berbagai kemungkinan penerapannya bagi pengembangan kegiatan belajar klien. Model-model konseling pada umumnya telah memadukan ke dalam masing-masing model itu teori belajar tertentu dari model konseling yang dimaksudkan.
Pada umumnya sekolah formal di Indonesia tidak di pimpin dengan latar belakang pendidikan psikologi, tetapi tidak berarti mereka tidak belajar pengetahuan yang terkait dengan pendidikan psikologi.
Yang menjadi masalah kita bahwa dalam pendayagunaan sumber daya manusia dalam komunitas pendidikan, dimana beban kerja bukanlah sesuatu kegiatan yang menyenangkan dalam menghadapi beragam sikap dan perilaku anak didik, oleh karena itu diperlukan seorang psikolog yang dapat bertindak sebagai konsultan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melaksanakan bimbingan konseling.
Dari pengalaman menunjukkan pula situasi dimana menjadi masalah bagi pendidik dengan adanya jurang kesenjangan antara beban kerja dengan hasil kerja yang mendorong pentingnya keberadaan seorang psikolog sebagai penasehat dalam hal :
1. Realita yang menunjukkan pendapatan dari seorang pendidik yang tidak sebanding dengan beban tanggung jawab atas menumbuh kembangkan kemampuan anak didik menemukan tentang jati dirinya ;
2. Seharusnya ada dorong dari kepemimpinan puncak sekolah untuk memikirkan masalah-masalah anak didik dengan bantuan tenaga ahli dalam psikologi ;
3. Realita juga menggambarkan ketidakpastian karir masa depan dalam komunitas pendidikan yang berdampak menjadi tidak bahagia dalam kehidupan.
Bertolak dari dari gambaran singkat diatas, seorang pemimpin dalam komunitas pendidikan untuk mencapai keberhasilannya dalam meningkatkan kebiasaan anak didik yang produktif, maka harus ada keberanian pimpinan puncak sekolah untuk menarik seorang yang ahli dalam bidang psikologi untuk membantu dalam menjalankan peran pendidik dalam kaitan dengan kerjanya, karena yang bersangkutan memiliki kemampuan untuk menjalankan konseling dan menjadi seorang konselor.
Yang perlu diingat bahwa setiap pendidik harus mampu menjalankan pekerjaan konseling walaupun ia bukan ahli psikologi karena keterampilan dalam bidang ini dimana setiap orang mampu meningkatkannya sepanjang yang bersangkutan mau meningkatkan pemanfaatan pikiran untuk tumbuh dan berkembang sehingga ia terus berusaha untuk ingin tahu dari yang tidak tahu dengan meningkatkan kebiasaan yang produktif dalam usaha menjadi konselor non-profesional, yang setiap waktu ia mampu melibatkan diri dalam mnghadapi masalah anak didik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar